Selasa, 30 Maret 2010

Ali Moertopo (Tempointeraktif)

Saya memang Ikut
28 Januari 1984

MESKI namanya tak lagi muncul tiap hari di media massa seperti sewaktu menjadi menteri penerangan, Ali Moertopo masih sering disebut-sebut dalam pembicaraan sehari-hari. Terutama bila masalahnya mengenai politik Indonesia. Mungkin ini merupakan petunjuk bahwa bekas wakil kepala Bakin dan asisten pribadi presiden ini hingga sekarang masih tetap diperhitungkan". Sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung, Ali Moertopo, 60, masih sering muncul di depan umum. Dua pekan lalu, misalnya, ia hadir dalam Hari Wisuda Universitas Indonesia. Bersama istrinya, ia sempat berfoto bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto, serta anak sulungnya, Haris Ali Moertopo, yang hari itu diwisuda sebagai insinyur. Akhir pekan lalu, selama hampir dua jam, ia berbincang-bincang tentang berbagai hal dengan Susanto Pudjomartono dan James R. Lapian dari TEMPO, di kantornya di DPA. Di dinding ruang tamunya, tergantung sebuah foto: Ali Moertopo bersama Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah. Bicaranya tetap tegas dan lantang seperti dulu. Tak terlihat tanda-tanda kesehatannya terganggu. Hanya sesekali suaranya terdengar bergetar. Petikan dari wawancara itu: Bagaimana rasanya pindah dari tugas eksekulif (menteri) menjadi penasihat? Ada beberapa dimensi yang bisa dilihat. Dari sudut kepentingan pribadi, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab saya sekarang ini lebih ringan, menyenangkan, dan menguntungkan. Menurut status administrasi, DPA sejajar dengan badan legislatif. Di sini saya berhak mendapat pensiun juga. Dari profesi saya sebagai soldaat, saya berhak mendapat pensiun. Begitu juga sebagai bekas peJabat eksekutif. Ini sangat menyenangkan: orang kok bisa punya tiga pensiun sekaligus (tertawa). Bagaimana dengan dimensi lainnya? Kedua, dimensi perjuangan. Sejak Orde Baru, saya menjabat asisten pribadi presiden. Sebelumnya, saya menjadi staf pribadi presiden. Kalau dilihat fungsinya dengan pekerjaan saya sekarang, sama saja. Dulu, bahkan lebih rendah, karena hanya mengajukan laporan dan terserah pemakai. Sebagai anggota DPA, kini saya berkewajiban memberikan laporan, baik diminta maupun tidak. Dari segi ini, saya merasa bangga. Kok saya bisa mendapat kesempatan sebaik ini (diangkat sebagai anggota DPA). Sudah punya kesempatan begitu banyak, diberi kesempatan lagi. Karena itu, saya menganggap DPA sebagai lahan baru. Karena itu, kalau saya tak berhasil, memalukan sekali. Apa ukuran keberhasilan itu? Itu bisa dilihat bila saya bisa menuangkan pemikiran saya dalam kerja DPA yang mempunyai nilai strategis konsepsional. Menyadari DPA sebagai lembaga tinggi negara yang mempunyai sistem kerja kolektif, ambisi perjuangan saya adalah agar saham pemikiran yang saya berikan bisa dimengerti oleh si pemakai. Dalam hal ini presiden. Artinya, dapat digunakan untuk mengisi kelengkapan kebijaksanaan pimpinan negara dan bangsa. Dan tentu bermanfaat bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Dari berbagai jabatan yang pernah Bapak pegang, mana yang paling cocok? Dulu, saya tak berangan-angan jadi tentara. Malah sewaktu masih di SMP, bila teman orangtua atau paman saya yang menjadi tentara datang, saya tidak begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk Peta datang ke rumah, rasanya kok menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. Waktu semua orang belajar bahasa Jepang, saya juga tidak ikut. Sampai sekarang, saya hanya tahu satu kata Jepang saja: sayonara. Lalu bagaimana ceritanya hingga bisa menjadi tentara? Baru pada awal proklamasi, saya tergerak untuk ikut perjuangan. Dimulai dengan masuk Hisbullah, mengikuti teman-teman sekampung. Kemudian saya memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia). Ketika masih bergerilya dengan pangkat prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintala, saya memimpikan menjadi kapten. "Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten," doa saya setiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak pernah punya ambisi lagi. Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps, saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran. Sehingga, atasan saya Pak Yoga Soegomo pernah berkata, "Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat." Tapi promosi saya ternyata tidak berhenti. Sudah mau aman, ada PRRI, Trikora, dan Dwikora. Kemudian, saya pikir sudah akan selesai. Ternyata, masih ada Orde Baru. Selama meniti karier di luar militer, saya merasa beruntung. Dari militer kok bisa menjadi menteri, lalu menjadi pejabat lagi di DPA. Waduh, senangnya tak terkirakan. Ini merupakan pengalaman yang tidak mudah tercapai teman-teman lain. Jadi, kalau saya main-main, tidak bersungguh-sungguh mengabdi pada bangsa dan negara, berarti saya telah berkhianat. Oleh sementara pengamat, Bapak dianggap sebagai salah satu power centre di Indonesia, sebagai patron dari suatu kelompok politik. Bagaimana tanggapan Bapak? Berdasarkan Undang-undang Nomor 3/1975, hanya ada kekuatan politik dua parpol dan Golkar di Indonesia. Karena itu, saya tidak setuju kalau saya dianggap sebagai powerpolitik.Kalau saya ikut "main", itu saya akui. Tapi itu dalam artian iktikad baik saya mengabdi kepada bangsa dan negara menuju sistem kehidupan bangsa di bidang politik, yang mendukung stabilitas nasional jangka panjang. Bagaimana Bapak melihat situasi politik dalam negeri Indonesia saat ini? Dilihat dari sistem politik, kita berada pada suatu titik di mana sistem yang formal sudah selesai, tapi riil belum. Yan saya maksud formal adalah dua parpol dan Golkar. Yang riil, terutama di dua parpol itu, belum selesai. Misalnya musyawarah di dalam, menentukan kongres, masalah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Sebetulnya, kalau dilihat dari segi kepentingan nasional, kedua parpol dan Golkar adalah milik bangsa Indonesia. Milik saya, milik mereka, milik semuanya. Jadi, seharusnya kita tidak saling masa bodoh. Orang yang rasional mengabdi kepada bangsa dan negara berdasarkan kesadaran penuh, (hingga) harus mengerti pentingnya PPP dan PDI. Bila keduanya mendapat kesulitan, semua orang harus membantu. Tapi harus tahu batas dan tidak mencampuri urusan intern mereka. Di sinilah dulu saya sering dianggap manipulator politik, karena saya selalu membantu. Saya beranggapan, semua organisasi politik di Indonesia milik kita bersama. Berarti saya ikut memiliki. Jadi, kalau saya tidak blsa membantu, ya, saya ini bukan warga negara yang baik. Yang penting, saya tahu batasnya. I know the border. Ada anggapan Bapak sekaran berubah. Misalnya dulu menentang peembagaan Angkatan 66, tapi sekarang menyetujui. Buat saya, yang pertama kali harus dinilai dari Angkatan 66 adalah: mereka exist atau tidak Untuk itu, mereka harus memenuhi tiga syarat. Pertama, telah melakukan gerakan yang mengakibatkan perombakan menyeluruh. Ini telah mereka lakukan. Kedua, konsepsi. Ternyata, mereka mempunyai konsepsi Tritura. Ketiga, nilai sejarah. Dalam hal ini, perjuangan Angkatan 66 juga punya: dari Orde Lama ke Orde Baru. Berarti, keberadaan Angkatan 66 sudah memenuhi persyaratan. Masalahnya: mau atau tidak diadakan pelembagaan Angkatan 66? Kita ingin melanjutkan penertiban atau strukturisasi Angkatan 66 dalam bentuk lembaga atau tidak? Saya sendiri tidak berkeberatan dengan pelembagaan Ankatan 66. Saya menyodorkan alternatif terbaik: pelembagaan lewat KNPI karena ia merupakan forum pemuda nasional. Bila ada yang menginginkan tidak melalui KNPI, itu terserah. Demokrasi. Cuma apakah cara itu nantinya bisa diterima masyarakat atau pemerintah. Benarkah pada 1981 Bapak pernah menentang pelembagaan ini? Bukan itu yang saya maksudkan. Waktu itu ada yang tidak menginginkan KNPI, dengan alasan lembaga Angkatan 66 lebih baik sempurna, dan relevan. Jadi, yang akan dihilangkan KNPI. Hal itu buat saya tidak benar. Kalau memang begitu, mati pun saya lakon (jalani). Bapak kelihatan amat fit. Bagaimana kesehatan Bapak sekarang? Kesehatan saya dipengaruhi dua unsur. Pertama, umur. Itu Tuhan yang menentukan. Kedua, saya memang sakit jantung dan sudah dioperasi. Secara medis, saya tidak apa-apa. Tapi sebagai manusia yang telah mempunyai umur tua, saya ya harus eman-eman (berhati-hati).... Apakah Bapak merencanakan menulis memoar? Saya tidak senang menulis memoar karena di Indonesia ini yang laku emosi. Bila saya menulis memoar, nanti ada yang tersinggung dan tidak senang. Lebih baik menulis hal yang lain, yang bersifat historis konsepsional-strategis. Dengan begitu, ide dan gagasan saya tidak akan mati. Saya bisa mati, tapi ide itu jalan terus.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/01/28/NAS/mbm.19840128.NAS42098.id.html

Meninggal Dunia
26 Mei 1984

HIDUP itu hanya sekali dan sifatnya hanya mampir minum." Kata-kata itu diucapkan oleh Letnan Jenderal (pur.) Ali Moertopo dalam suatu wawancara khusus TEMPO, Januari silam. "Masa hidup itu harus digunakan sebaik-baiknya, kita harus bekerja semaksimal mungkin, untuk bangsa dan negara." Ali Moertopo, tokoh yang tersohor itu, meninggal di ruang kerjanya, di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa Pahing, 15 Mei sekitar pukul 15.45 WIB. Lima belas menit sebelumnya, demikian tutur Sopini, salah seorang ajudannya, Ali Moertopo masih membaca sambil memegang pena. Tatkala Sopini kemudian kembali, ditemuinya Ali Moertopo telentang di sofa, dalam keadaan tidak sadar. Serangan Jantung, keempat sejak 1978, rupanya telah merenggut nyawanya. Toh, kemglnannya terkabul. Seperti kata Haris, 25, putra sulungnya, yang kembali dari Tokyo dua jam sebelum jenazah dikuburkan Rabu petang lalu, "Bapak pernah bilang ingin mati waktu bekerja. Sebab, itu seperti tentara mati waktu perang." Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 60 tahun lampau itu tak terdengar mempunyal hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung Karno. Sikapnya yang tak bisa diam itu masih tecermin setelah ia tak lagi duduk dalam kabinet, dan terpilih sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung, 1983. "DPA tidak ada gunanya kalau tidak blsa menyerap dan mengolah aspirasi rakyat secara tepat dan relevan," katanya selepas pertemuan DPA dengan Presiden. "DPA harus berfungsi dan tidak boleh hanya sebagai embel-embel saja." Merupakan tokoh yang kontroversial, Ali Moertopo - seperti ditulis dalam Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1983-1984, yang diterbitkan majalah TEMPO - dijuluki sementara pengamat sebagai man of aaion. Itu memang dibuktikannya selama ini: Ia selalu berorientasi pada pencapaian tujuan, bisa cepat menjabarkan setiap tujuan yang dlanutnya ke dalam serangkaian tindakan. Tapi, kalau dianggap perlu, ia juga bisa mengerem diri, dan patuh pada atasan. Dalam menghadapi Pemilu 1971, misalnya, ia semula berpendirian bahwa pemilu belum saatnya dilaksanakan. Tetapi ketika Presiden Soeharto memutuskan lain, Ali tidak mutung. Ia segera bangkit membenahi Sekber Golkar. Dibentuknya Badan Pengendali Pemilu (Bapilu) Golkar. Ia merekrut tenaga baru, menerbitkan koran Siara Karya, dan mengambil berbagai tindakan lainnya. Dan ia berhasil. Kemenangan Golkar mendorongnya melangkah lebih lanjut. Beberapa kelengkapan kelembagaan Orde Baru, seperti KNPI, FBSI, dan HKTI, sedikit banyak hasil sentuhannya Tapi, Ali bukan sekadar operator yang lalu. Ia juga konseptor politik yang sarat gagasan, kendati tidak selalu komprehensif dan padu. Dalam kampanye Pemilu 1971, ia mencetuskan gagasan Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, yang waktu itu sempat memikat dan diperdebatkan berbagai kalangan. Menjelang Sidang Umum MPR 1983, usulnya agar MPR memberikan gelar Bapak Pembangunan Nasional kepada Presiden Soeharto - walau semula banyak ditentang - akhirnya berhasil. Tak selesai MULO, setingkat SMP, sebelum Jepang masuk, 1941, putra ketiga di antara sembilan bersaudara, R. Kartoprawiro, seorang pedagang, pernah duduk sebentar di SMA Bagian C. Tapi kegemarannya membaca dan suka memmba pengetahuan dari orang yang ia pandang, membuat ia berani tampil dalam berbagai forum internasional. Misalnya dalam berbagai seminar yang diselenggarakan oleh CSIS - yang didirikannya, dan ia menjadi ketua kehormatan bersama Mayor Jenderal (pur.) Soedjono Humardani, kini Irjenbang, sejawatnya sejak dulu. Almarhum - yang meninggalkan seorang istri, Wastuti, dan dua putra - memulai kariernya sebagai prajurit. Tapi pada saat itu anak Pampung Krapyak Kidul, Pekalongan, itu sudah membuat ulah. Tuturnya dalam buku Apa Siapa, TEMPO: "Karena malu", setiap pulang dari markas ke rumahnya, diam-diam, pangkatnya dicopot dan diganti dengan pangkat sersan mayor "Sebab, pada masa itu, itulah pangkat yang paling hebat," ujarnya sambil tertawa. Sebagai bintara dalam laskar BIPRI Hisbullah - yang pada awal revolusi bermarkas di Jalan Dokrian (kini H.A. Salim), Pekalongan - Ali Moertopo ikut aktif menumpas aksi komunis, yang dikenal sebagai peristiwa Tiga Daerah, di antara Brebes dan Tegal. Lalu tampil sebagai komandan seksi gerilya, Komandan Kompi Batalyon 431 Banteng Raiders, kemudian Kepala Staf Resimen Tim Pertempuran II/Diponeoro. Dan pada tahun 1961, dialah yang memimpin Komando Operasi Khusus (Opsus) Irian Barat. Pada awal Orde Baru (1966), Kolonel Ali Moertopo aktif berperan dalarn upaya menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, antara lain bersama Kepala Staf Kostrad Brigadir Jenderal Kemal Idris, dan Asisten I Kopur Kostrad Mayor L.B. Moerdani sebagai perwira penghubung. Semuanya di bawah Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto, kini presiden RI. Nama Opsus kemudian melembaga dan seakan menjadi cap dari scgala kegiatan operasi inteligen, tak saja di bidang militer, tapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Nama ItU begltu disegani tapi juga dibenci, tak disenangi karena dianggap sebagai "suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendaknya". Itu sebabnya, sementara pihak berpendapat, keberhasilan Ali Moertopo terutama disebabkan faktor kekuasaan yang dipegangnya, dan kedudukannya sebagai pembantu utama Presiden di bidang politik, di samping sebagai perwira tinggi inteligen yang amat berpengaruh. Tapi, Ali Moertopo, yang sejak tahun 1961 mulai berperanan di dunia inteligen, menolak anggapan begitu. "Kalau saya ikut main, itu saya akui. Tapi itu dalam artian itikad baik, untuk mewujudkan sistem kehidupan politik yang mendukung stabilitas nasional," katanya kepada TEMPO. Ia juga dituding sebagai "manipulator politik", khususnya dalam mencampuri urusan PDI dan PPP. Tapi untuk itu ia punya alasan: "Orang yang rasional, mengabdi sepenuhnya kepada bangsa dan negara, harus mengerti pentingnya PPP dan PDI, selain Golkar. Bila PPP dan PDI mendapat kesulitan, seharusnya semua orang membantu," katanya. Ali Moertopo, tokoh yang dipuja tapi juga dibenci oleh lawan politiknya, betapapun, merupakan suatu bab penting dalam riwayat Orde Baru. Bekas pimpinan mahasiswa yang dulu tergabung dalam KAMI - yang kini menjadi menteri seperti Cosmas Batubara, orang partai seperti amroni, atau Nono Makarim yang kini konsultan hukum tentu masih ingat saat-saat yang tegang, bermalam di markas Kostrad di Kebon Sirih, Jakarta, bersama Ali Moertopo, sebelum 11 Maret yang melahirkan Supersemar itu.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/05/26/OBI/mbm.19840526.OBI42788.id.html

Setelah Serangan Keempat
26 Mei 1984


SERANGAN jantung itu datang mendadak. Diperkirakan hanya berlangsung sekitar lima menit. Tapi, justru pada menit kritis itu segalanya ditentukan. Dan itulah yang dihadapi Almarhum Ali Moertopo, 60, Selasa pekan lalu, di ruang kerjanya di lantai dua Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. "Bapak sudah meninggal dunia ketika kami datang," kata Dokter A. Hanafiah, salah seorang dokter pribadinya. Apa penyebabnya? Dokter yang sudah mendampingi Almarhum sejak pertama kali diserang sakit jantung koroner - semacam penyakit jantung yang diakibatkan penyempitan lemak di pembuluh jantung - itu belum mau memperinci. Ia hanya menuliskan di visum resmi, penyebab kematian wakil ketua DPA itu adalah: Sdden Cardiac Death. Artinya: serangan mendadak pada jantung yang menyebabkan kematian. Biasanya, terjadi pada penderita jantung koroner yang tiba-tiba tersumbat pembuluh Jantungnya. Akibatnya, darah tak mengalir ke otot jantung (infark). Keadaan inilah, yang antara lain menyebabkan kekacauan irama di bilik jantung, yang bisa menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdetak. Serangan penyakit pada bekas menteri penerangan itu sudah terjadi empat kali. Tapi tiga serangan sebelumnya bisa diatasi tim dokter yang sempat menolong. Yang pertama terjadi Juli 1978 di Kuala Lumpur, ketika Ali Moertopo menyaksikan pemiu di negeri itu. Inilah pertama kali Almarhum diketahui mengidap penyakit jantung koroner. Akibatnya, ia diharuskan menjalani pengobatan intensif sekitar tiga bulan. Rupanya, penyakit ini serius. Lebih dari setahun setelah pulang dari Kuala Lumpur, bersama tim dokter pribadi dan keluarganya, Ali Moertopo terbang ke Houston, Texas, AS, untuk menjalani operasi bedah pembuluh darah memintas (coronary bypass surgery). Tak kurang ahli bedah jantung terkenal Dr. Benton A. Cooley ikut mengawasi pembedahan itu. Pada penyakit seperti ini pembedahan dilakukan di pembuluh jantung. Sebab pembuluh tadi dianggap sudah rusak akibat lemak yang mengendap di dalamnya. Karena itu, agar tetap bisa melancarkan peredaran darah ke otot Jantung, pembuluh yang rusak itu diganti dengan pembuluh lain yang diambil, biasanya, dari betis kaki. Dengan pembuluh baru itulah peredaran darah di-bypass agar mengalir ke otot jantung. Menurut Harris A.M. - putra sulung Almarhum, yang ikut mendampingi ayahnya dalam operasi bypass - sedikitnya operasi itu dilakukan di lima tempat. Setelah operasi itu, yang dalam 15 t ahun terakhir ini sering dilakukan para ahli bedah jantung Amerika, Ali Moertopo harus mendekam sekitar empat bulan di rumah sakit. Dan dalam perjalanan pulang dari pengobatan setelah operasi inilah. dia sempat menerima serangan jantung kedua. Tapi selamat setelah menjalani pengobatan di Los Angeles. Setelah itu, beberapa bulan kemudian dia mendapat serangan jantung yang ketiga kalinya di Jakarta. Semua serangan jantung tadi terjadi antara lain karena Almarhum - setelah operasi sulit menghilangkan kebiasaannya bekerja keras. Sesekali, kendati sudah dilarang istri atau dokter pribadinya, Almarhum lupa pada penyakitnya. Tapi, pada sisi lain, semangat bekerja yang kuat itulah yang menyebabkan Almarhum bisa bertahan hidup, seperti diakui Dokter Hanafiah kepada TEMPO. "Jika pasien lain menghadapi penyakit seperti itu, mungkin tak akan bisa setahan Pak Ali," katanya. Dan, memang, adalah Mendiang sendiri yang memutuskan untuk menjalani operasi bedah memintas pembuluh darah itu guna melawan penyakit jantung koronernya. Dia dan mungkin juga tim dokternya Fercaya bahwa operasi itu merupakan alternatlf pengobatan terbaik dibandingkan meminum obat.
Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/05/26/KSH/mbm.19840526.KSH42803.id.html

Ia Berani Melawan Arus
26 Mei 1984
SELASA malam pekan silam itu jenazah Ali Moertopo disemayamkan di ruang tengah rumahnya, di Jalan Matraman Raya 18, Jakarta Pusat, yang beralaskan permadani merah, tepat di bawah lampu gantung. Begitu Presiden Soeharto dan Ny. Tien selesai melayat, menjelang tengah malam, terdcngar surat Yassin dibaca beberapa orang. Beberapa di antara kitab Yassin yang kecil itu bergambarkan pohon beringin yang dibentuk dengan huruf Arab. Pelayat terus berdatangan hingga menjelang pagn Esoknya ribuan orang terus mengalir datang di rumah Almarhum, juga tatkala jenazah disemayamkan di gedung DPA, lalu terakhir di TMP Kalibata. Almarhum memang tokoh populer yang dekat dengan bermacam kelompok. Ia dianggap "bapak" oleh banyak kelompok, antara lain pemuda dan mahasiswa. Ia bahkan akrab dan membantu banyak tokoh PRRI dan Permesta yang sebelumnya disisihkan. Pernah juga ia membina beberapa bekas tokoh DI/TII. Semua itu dilakukannya tatkala ia memimpin Opsus (Operasi Khusus), yang semula dibentuk dalam perjuangan mengembalikan Irian Barat ke wilayah RI. Dalam penataan kembali kehidupan politik Orde Baru, peranan Ali Moertopo sangat menonjol. Namun, dalam peran sebagai "operator" atau "pendobrak" itulah ia dituding sebagai pemecah belah parpol. Dr. Alfian, Direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional LIPI, menganggap Ali Moertopo tokoh yang kontroversiak "Ia melahirkan beberapa ide yang menarik, seperti akselerasi pembangunan dan massa mengambang. Pada mulanya ide itu kontroversial, tapi akhirnya bisa diterima masyarakat sebagai kenyataan," ujarnya. Alfian, ahli ilmu politik itu, berpendapat, Ali Moertopo kadang kala berani melawan arus karena ia mempunyai sense of purpose (tekad) yang sangat kuat dalam pembangunan bangsa, hingga ia berani mengambil risiko dalam tingkah laku politiknya. Dalam pengamatan Alfian, Ali Moertopo mempunyai kelebihan: mampu keluar dari berbagai krisis politik. "Ia bahkan menjadikan krisis itu sebagai faktor untuk mengembangkan dirinya," tutur Alfian. Ia menyebut Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) sebagai contoh. Akibat peristiwa itu, banyak tokoh yang berkurang pengaruhnya, atau tersingkir dari percaturan politik nasional. Tapi Ali Moertopo malah makin menonjol. "Daya tahan politiknya ini menunjukkan kualitas Ali Moertopo yang luar biasa," kata Alfian. Ali Moertopo juga dianggap Alfian tokoh yang multidimensi. "Di mana pun ia ditempatkan - sebagai aspri presiden, waka Bakin, atau menpen - ia selalu dapat mengembangkan dirinya dan mewarnai bidang itu," katanya. Walau Ali Moertopo telah meninggal Alfian percaya, Almarhum meninggalkan jejak. "Sebab, secara tak langsung, pengaruh Ali Moertopo masih tetap ada melalui ide dan kader yang ditinggalkannya," katanya. Ridwan Saidi, anggota FPP, menilai Ali Moertopo sebagai salah satu superstar bagi kebesaran Golkar. "Bila benar ada sejumlah politisi muda yang dilindunginya, tentunya, setelah kepergiannya, mereka akan mencari katrolan baru," kata Ridwan. Tapi, Sofyan Wanandi, Anggota Dewan Direktur CSIS, tak sependapat. "Tak benar kalau ada kesan teman-temannya meninggalkan Pak Ali," katanya. Kesan dari luar mungkin begitu, tapi itu karena "dia menyuruh setiap orang berkembang". Ia tetap berdiri di belakang. "Jadi semacam godfather," ujarnya. Sekjen DPP Golkar, Sarwono Kusumaatmadja, mengakui juga bahwa semasa hidupnya Ali Moertopo berperan sebagai semacam godfather yang mengorbitkan politisi muda. Almarhum dinilainya sebagai tokoh militer yang punya karakter, kaya dengan gagasan, dan sekaligus mau memperjuangkan gagasannya. "Ali Moertopo adalah pencetus sistem politik Orde Baru," katanya. Sabam Sirait, Sekjen PDI yang juga menjadi anggota DPA, tak sependapat bila Ali Moertopo disebut sebagai perancang Orde Baru. "Dia lahir bersamaan dengan Orde Baru, tapi itu bukan berarti dia arsiteknya. Dengan caranya sendiri, ia memang banyak mengarahkan," ujarnya. Dan itulah yang dianggapnya sumbangan terbesar Ali Moertopo dalam pembangunan politik Indonesia.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/05/26/OBI/mbm.19840526.OBI42789.id.html


Ali Moertopo Menjelaskan
20 Agustus 1977

LETJEN Ali Moertopo, Waka Bakin yang kini 53 tahun, sebenarnya masih harus istirahat di rumah sedikitnya satu minggu lagi. Namun baru tiga malam tiba di tanah air setelah menjalani operasi untuk kedua matanya di AS, ia sudah terpaksa keluar rumah. Antara lain mengunjungi keluarga Kolonel Hamsil di jalan Siliwangi menyatakan belasungkawa atas meninggalnya Rudy Chaidir, 21 tahun. Kepada TEMPO, Ali Moertopo mengatakan, ketika selesai operasi yang pertama, mau telepon ke tanah air. "Tapi kok diblokir. Saya coba lagi. diblokir terus. Saya pikir, wah. pasti ada apa-apa. Kontan saya bilang sama isteri saya, saya pulang," katanya. Almarhum, anak keempat Hamsil, adalah korban penembakan dalam perkelahian di Jalan Batu 29 Juli lalu. Dan Harris, 18 tahun, anak Ali Moertopo adalah tersangka dalam peristiwa penembakan itu (TEMPO, 13 Agustus Kriminalitas), lalu pekan kemarin, Ali Moertopo hadir di Press Club, Jakarta. Di depan wartawan yang memenuhi acara makan siang bersama perwira tinggi itu, ia berbicara tentang 'musibah' yang mengenai anaknya di SMA IV Gambir itu. Meskipun hanya sebentar, Ali Moertapo tak bersedia menguraikan apa sebenarnya yang terjadi antara Harris, anaknya, dengan almarhum Rudy dkk. Ia tidak membenarkan, juga tidak membantah, adakah Rudy tewas oleh peluru pistol anaknya. Ali khawatir, pemeriksaan oleh yang berwajib akan terpengaruh oleh keterangannya. Sampai hari ini pemeriksaan belum selesai. Pemeriksaan tak dapat dilakukan terus, sebab anak saya luka syarafnya? "katanya. rupanya benar: Harris juga mengalami luka-luka akibat peristiwa perkelahian itu. Sang ayah bahkan masih begitu sedih. Ia enggan membicarakan luka-luka yang diderita anaknya. "Nanti saya trenyuh lagi," katanya kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO. "Kalau saya ingat itu, ah, sudahlah . . . " tambahnya. Bahkan sang ayah baru sekali saja menengok anaknya yang masih dirawat di rumah sakit. "Saya berpendirian. supaya hal ini dapat diselesaikan secara wajar - berdasarkan hukum," kata Ali. Ia juga berjanji bahwa apa pun keputusan pengadilan nanti terhadap anaknya, "saya akan mentaati sepenuhnya." Mengundurkan Diri? Ada wartawan bertanya: adakah Ali akan mengundurkan diri dari jabatannya jika nanti anaknya terbukti bersalah? Pertanyaan itu barangkali ada hubungannya dengan kasus penembakan di jalan Matraman tempo hari, yang menyangkut anak seorang perwira tinggi AL. Laksda Atoeng Soedibya ketika itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Asisten I KSAL. Tapi barangkali soalnya belum selesai, hingga Ali Moertopo belum perlu menyatakan keputusannya. "Apa hubungannya eristiwa itu dengan jabatan saya?" jawabnya balik bertanya. Munkin perlu diperjelas dulu: benarkah arris bersalah. Menurut bapak dan teman-temannya, ia bukan anak yang suka berkelahi. "Saya melihat pendidikan terhadap anak saya berhasil. Anak saya taat pada pendidikan yang saya berikan," kata Ali. Bahkan walaupun Harris sudah besar, "saya masih suka mengajaknya tidur bersama untuk bercakap-cakap dan memberikan nasihat-nasihat." Setelah bicara tentang 'musibah' keluarganya itu, Ali juga bicara tentang desas-desus keterlibatannya dalam kasus "bursa komoditi". "Tidak benar saya ikut atau berusaha dalam bidang perdagangan komoditi," katanya. Soal perdagangan komoditi itu sampai saat hebohnya, ia bahkan tidak mengerti soalnya. "Kok katanya saya ikut." Oleh seorang pemhantunya, Monang Pasaribu, ia pernah diperkenalkan dengan Sudarto, seorang dari perdagangan komoditi. Tapi hingga kini ia belum diberi penjelasan apa-apa oleh Sudarto. Yang diketahui oleh Ali Moertopo, Sudarto sudah minta izin kepada pemerintah untuk mendirikan usaha perdagangan komoditi. Monang memang dikenal baik oleh Ali dan telah banyak jasanya membantu tugas. Misalnya dalam tugas merebut Irian Barat. Sesudah itu Monang rmendirikan PT AKA (Anem Kosong Anem) di jalan Bangka. Ali Moertopo malah menitipkan kantor harian Suara Karya di gedung AKA yang megah itu. Juga, "saya nunut berkantor di sana." Kepada Ali, Monang berkata: "Usaha perdagangan komoditi itu baik. Segala izin dan lain-lainnya semua sudah beres." Sampai suatu saat Monang menemui Ali, "dengan tersedu-sedu." Itu setelah usaha bursa itu dilarang pemerintah. Maka Ali cuma bisa kasih nasihat: "Harus bertanggungjawab. Berani mulai juga harus berani berhenti. Kalau perlu juga harus berani menyelesaikannya di muka pengadilan."
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1977/08/20/NAS/mbm.19770820.NAS75289.id.html

Menolak di Calonkan Wapres
12 Februari 1983


SUASANA rapat kerja Komisi I DPR Senin siang lalu mendadak lebih "hidup" tatkala salah seorang anggota F-PDI, Tjokorda Bagus Sayoga melontarkan permintaan kepada Menteri Penerangan Ali Moertopo. "Saya mengusulkan agar Pak Ali bersedia menjadi calon wakil presiden, karena saya merasa Pak. Ali punya kemampuan untuk itu". Tersenyum sebentar, Menpen yang mungkin tak menduga munculnya pernyataan seperti itu, menjawab kalem "Terus terang, saya merasa tak mampu untuk menerima jabatan itu". Selain alasan ketidakmampuan, Ali Moertopo juga menyebutkan "Ada faktor lain, usia saya". Ali Moertopo, 58 tahun, seusai rapat kerja itu lalu menjawab pertanyaan pers. Ia menegaskan lagi bahwa ia merasa kemampuannya "tak sampai" untuk menduduki jabatan wapres, hingga kalau ia mendududuki jabatan itu malah bisa merugikan negara. "Jadi mungkin bisa diambil orang lain," katanya. "Saya merasa mentally tidak prepared (tidak siap mental) untuk itu. Orang lain yang pintar masih banyak". Ia kemudian berkata "Tak ada ambisi saya untuk ke sana. Perasaan saya tak ada untuk itu, jadi impian pun tak ada". Tapi kepada pers Menpen mengungkapkan akan merasa senang kalau bisa meneruskan jabatannya yang sekarang. "Itu kalau saya sendiri dibenarkan untuk tetap duduk dalam kabinet yang akan datang," katanya. Alasannya, ia merasa belum selesai benar menyandang tugasnya sebagai menteri penerangan. "Saya tentunya malu untuk meninggalkan pekerjaan yang belum selesai," ujarnya. "Tapi kalau diganti orang lain yang lebih baik dan lebih mampu daripada saya tentu saya akan senang sekali". Namun ia juga mengatakan telah bekerja keras sejak berusia 18 tahun, ketika menjadi prajurit sampai menjadi letjen sekarang hingga ia merasa "letih". Munculnya permintaan spontan pada Ali Moertopo agar bersedia dicalonkan menjadi wapres bisa dimengerti. Siapa yang bakal menjadi wakil presiden untuk periode 1983-1988 sampai sekarang memang menjadi teka-teki besar menjelang Sidang Umum MPR bulan depan. "Keadaan sekarang ini berbeda dengan tahun 1973 dan 1978. Waktu itu pada bulan Januari saja sudah diketahui siapa yang akan dicalonkan," kata seorang anggota DPR dari F-KP. Dalam dua kali sidang MPR waktu itu, nama Sultan Hamengkubuwono IX memang sudah jauh hari sebelumnya diisyaratkan sebagai satu-satunya calon pendamping Pak Harto sebagai wapres. Kini tampaknya isyarat itu belum juga turun, hingga sampai 3 pekan menjelang SU MPR berbagai macam isu dan rekaan pun masih bermunculan. Isyarat itu tentu saja dari Presiden sendiri, karena salah satu persyaratan utama seorang wapres adalah harus sanggup dan dapat bekerja sama dengan presiden. Hingga untuk bisa memenuhi persyaratan formal tersebut, praktis calon wapres ditentukan sendiri oleh presiden terpilih. Mengapa isyarat itu hingga kini belum muncul juga, ini yang membingungkan banyak orang. Ada yang menganggap karena Presiden Soeharto, yang pasti akan terpilih kembali untuk masa jabatan 1983-1988, tidak mau melanggar tata tertib. Secara resmi beliau belum terpilih lagi sebagai presiden. Lagi pula sesuai dengan tata tertib, fraksi-fraksi dalam MPR-lah yang berwenang mengajukan calon presiden dan wapres. Namun ada juga pendapat lain. "Pemilihan wapres kali ini memang lebih sulit dibanding yang lalu karena menyangkut masalah suksesi. Ada kemungkinan 5 tahun mendatang ini akan merupakan masa terakhir Pak Harto menjadi presiden. Wapres kali ini dengan demikian sepertinya akan menjadi calon presiden berikutnya," ujar seorang anggota MPR dari F-KP (lihat box). Menurut anggota DPR yang berkeberatan disebut namanya, pertimbangan inilah yang menyebabkan lebih sulitnya menemukan calon wapres yang tepat. "Calon wapres ini harus seorang yang bisa meneruskan cita-cita Pak Harto, juga setia serta mampu mengamankan berbagai hal setelah Pak Harto tak lagi menjadi presiden," ujarnya. Sarwono Kusumaatmadja meninjaunya dari sudut lain. Sekretaris F-KP ini mengakui masalah wapres kali ini memang jauh lebih sulit dibanding dulu. Dulu, di awal orde baru, ada triumvirat Soeharto-Hamengkubuwono IX-Adam Malik. Hamengkubuwono IX dan Adam Malik kemudian menjadi wapres. Kini, menurut Sarwono, orba telah sampai pada tahap legimitasi: institusi yang dibentuk. selama ini -- baik politik, ekonomi dan sebagainya -- telah tertanam dalam masyarakat. "Tinggal masalahnya sekarang, bagaimana berbagai institusi itu bisa dipelihara," kata Sarwono. "Jadi diperlukan seorang figur pendamping presiden ke arah itu pendamping untuk menyongsong masa depan bangsa ini". Dengan begitu wapres itu perlu mengetahui latar belakang tumbuhnya orba, memahami landasan-landasan pemikirannya dan juga mampu menerjemahkan konsepsi-konsepsi dasar ini untuk menyongsong ke jalan depan. "Belum tentu orang ng ikut mendirikan orde baru juga bisa menerjemahkan konsepsi-konsepsi dasar itu untuk masa depan," kata Sarwono. Siapa? "Calon wapres ini sudah ada di kantung kiri dan kantung kanan," kata Wakil Ketua MPR dan Ketua DPP PDI Hardjantho Sumodisastro. Namun ia tak bersedia menyebutkannya. "Mesti dikonsultasikan dulu dengan Presiden," tambahnya. Namun seorang tokoh Golkar meragukan hal itu. "Omong besar kalau ada yang mengatakan bahwa calon wapres sudah ada di kantung, sebelum hal itu disetujui Presiden Soeharto," katanya. Lantas siapa? "Masih sulit diraba. Itu terserah pada Pak Harto sendiri," tambahnya. F-KP sendiri, menurut dia, secara resmi belum pernah membicarakan tentang calon wapres ini. Agaknya hal inilah yang kini dilakukan semua fraksi di MPR: menunggu nama calon wapres yang ditunjuk presiden. "Hingga kini belum ada isyarat siapa orang yang bisa bekerja sama dengan presiden, yang dapat dipastikan adalah Pak Harto. Karena itu masalah calon wapres ini belum dibicarakan dalam fraksi kami," kata seorang pimpinan Fraksi Utusan Daerah. Dari F-PP keluar penjelasan: "Semua fraksi pasti akan menerima usul nama calon yang disampaikan Pak Harto," kata Wakil Ketua F-PP Syarifuddin Harahap. Semua fraksi, menurut dia, tidak akan mengajukan nama calon wapres kecuali setelah berkonsultasi dengan presiden. "Jadi fraksi-fraksi akan menanyakan kemauan Pak Harto," katanya. Syahdan sembari menunggu isyarat Pak Harto ini, masyarakat pun mereka-reka teka-teki calon wapres ini. Belasan nama muncul dalam daftar "nominasi" untuk kemudian dianalisa peluangnya. Sebagian nama itu berasal dari usul berbagai kelompok masyarakat, dan pribadi yang disampaikan kepada pimpinan MPR, yang oleh Ketua DPRlMPR Amirmachmud dianggap sebagai usul "jalanan". Pelajar Timor Timur misalnya sekaligus mencalonkan Menhankam Jenderal M. Jusuf, Pemimpin Redaksi Merdeka B.M. Diah, dan bekas Menteri Keuangan Frans Seda. Adam Malik antara lain dicalonkan lagi oleh Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia tahun lalu, berdasar usul pembina utama organisasi tersebut, Probosutedjo. Pencalonan Widjojo Nitisastro dan Ali Moertopo berasal dari organisasi yang didirikan beberapa bekas aktivis Angkatan 1966: Forum Studi dan Komunikasi (Fosko). Ny. Tien Soeharto dicalonkan oleh seorang Siti Aisyah, anggota PITI (Pembina Iman Tauhid Islam). Pemudi ini sekaligus juga mengusulkan agar Ny. Tien diangkat sebagai Ibu Pembangunan (TEMPO, 5 Februari 1983). Ikatan Keluarga Pejuang 1945 Sulawesi Selatan mencalonkan Mayjen Polisi (Pur.) Moehammad Yasin, bekas Dubes RI di Tanzania. Alasannya: tokoh yang lahir di Bau-Bau (Buton) pada 1920 itu bisa diandalkan loyalitas, kapasitas, pengaruh serta jasa-jasanya. Banyak lagi tokoh yang disebut mempunyai peluang. Misalnya Ketua DPR/MPR Amirmachmud sendiri, Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Alamsyah. Amirmachmud sendiri agaknya tak menolak, asalkan ". . .fraksi sudah menentukan, sudah clear, dan Pak Harto menyatakan ya . . .," katanya 3 pekan lalu. Idham Chalid, kalau sampai dicalonkan, tampaknya didukung sebagian warga NU. "Kami akan melepas beliau dari NU kalau memang ada permintaan," kata Rais Awal PB NU KH Ali Yafie. "Seluruh warga NU akan mendukung Pak Idham," tambahnya. Namun menurut Kiai Ali Yafie sampai sekarang belum ada permintaan, resmi atau tidak, pada Idham untuk dicalonkan menjadi wapres. Idham Chalid sendiri pada TEMPO pekan lalu berkata, "Saya tak punya ambisi untuk itu." Bagaimana kalau umat memintanya? "Saya tak tahu. Itu belum saya pikirkan," jawabnya singkat. Walaupun konon telah ada 37 organisasi yang memintanya agar bersedia dicalonkan sebagai wapres, Menteri Agama Alamsyah konon juga menolak. Alasannya mirip Menpen Ali Moertopo: merasa tidak mampu dan tidak punya ambisi untuk menjadi wapres. Alasan yang sama dikemukakan pula oleh Menko Ekuin Widjojo Nitisastro tahun lalu, begitu namanya dicalonkan oleh Fosko. Penolakan dengan alasan ketidakmampuan itu membangkitkan pertanyaan: benarkah persyaratan menjadi wapres begitu berat hingga tokoh sekaliber Ali Moertopo dan Widjojo Nitisastro misalnya, merasa tidak mampu? Ketentuan dan persyaratan calon wapres diatur dalam Ketetapan (Tap) MPR nomor 11/1973. Di situ antara lain disebut persyaratan: telah berusia 40 tahun, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada cita-cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, berwibawa, jujur, cakap, adil dan mendapat dukungan rakyat yang tercermin dalam majelis. Selain itu tidak pernah terlibat langsung atau tidak dalam pengkhianatan terhadap negara, tidak sedang menjalani putusan pidana dan tidak terganggu ingatannya. Namun diatas semuanya itu, syarat: seorang wapres harus sanggup dan bekerja sama dengan presiden tampaknya tetap mutlak. Hingga memang tergantung kepada presiden terpilihlah siapa calon yang dipandangnya bisa memenuhi syarat tersebut. Di luar bermacam syarat formal di atas, di tengah masyarakat sendiri muncul berbagai syarat "tambahan". Misalnya bila presiden berasal dari Jawa dan ABRI, sebaiknya wapres dari luar Jawa dan sipil. Masih adanya sikap seperti itu, setelah 37 tahun merdeka, dikecam oleh Wapres Adam Malik. "Saya sendiri tidak pernah merasa sebagai orang Sumatera. Dalam pengalaman dan hukum kita, mana ada kategori seperti itu? Kita semua kan bangsa Indonesia. Baca dong Undang-undang Dasar kita, " katanya. UUD 1945 memang tidak menyebut hal itu. Dibanding presiden, syarat seorang wapres menurut UUD malah sedikit lebih ringan: ada peluang seorang yang bukan orang Indonesia asli untuk menjabat wapres. Penolakan dan mundurnya banyak tokoh yang punya peluang itu menyebabkan makin kuatnya spekulasi bahwa Adam Malik bakal tampil kembali sebagai wapres untuk satu masa jabatan lagi. "Bila Pak Harto menunjuk seorang wapres yang baru, bisa jadi akan timbul masalah dan kepusingan yang baru. Dan ini jelas tidak dikehendaki beliau. Memilih kembali Adam Malik merupakan jalan yang paling 'aman', karena sifat dan kemampuannya sudah dikenal baik oleh Pak Harto," kata seorang tokoh muda NU. Namun seorang tokoh F-KP membantah. Kerja sama Pak Harto dan Pak Adam dinilainya kurang terjalin baik, hingga peluang terpilihnya kembali Adam Malik "tipis". Buktinya? "Berbeda dengan waktu lalu, sampai kini belum ada 'tanda-tanda' Adam Malik akan terpilih kembali," katanya. Disebutnya juga, bahkan dalam rantap (rancangan ketetapan) Pertanggungjawaban Presiden yang telah disusun oleh Badan Pekerja MPR, tak ada disebut-sebut ikhwal kerja sama antara Soeharto dan Adam Malik. Namun, seorang pengamat politik menduga pilihan akan jatuh ke pundak Widjojo Nitisastro, sekalipun ia tegas menyatakan tak mampu. "Dialah salah seorang pembantu utama Presiden yang dipercaya," kata pengamat itu. "Bukankah Widjojo yang paling mengetahui tentang landasan ekonomi Orde Baru? Dan sampai sekarang konsekuen mempertahankan setiap Pelita?" Mungkin saja. Tapi dalam situasi seperti sekarang ini, agaknya sikap terbaik adalah bersabar dan menunggu. Toh SU MPR tinggal beberapa minggu lagi. Presiden Soeharto, Mandataris MPR, akan segera mengungkapkan nama calon pendampingnya dari kantung kanannya, bila sudah tiba waktunya.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1983/02/12/NAS/mbm.19830212.NAS43662.id.html

30 Tahun CSIS (Makin Tua makin mandiri)
10 September 2001

KIKUE Hamayotsu seperti sedang tenggelam dalam bundel-bundel majalah berita Indonesia. Wajahnya tampak sangat serius. Gadis asal Tokyo itu adalah salah satu dari puluhan pengunjung perpustakaan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di kawasan Tanahabang, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Perempuan dengan rambut dicat kemerahan itu adalah kandidat doktor dari Australian National University (ANU), Canberra. Dia datang khusus dari Australia untuk menggali bahan tentang perbandingan Islam dan politik di Indonesia dan Malaysia di perpustakaan CSIS. "Perpustakaan ini sangat lengkap. Saya sangat terkesan," kata Hamayotsu, yang mengaku pernah datang ke CSIS pada 1999. Memang, sebagai lembaga kajian kebijakan domestik dan internasional, CSIS merupakan nama yang berwibawa di kalangan akademisi dan peneliti. Pada saat merayakan usia 30 tahun?lembaga ini didirikan 1 September 1971?CSIS sudah memiliki jaringan dengan universitas di berbagai negara. Lembaga ini selalu didatangi oleh 35-40 mahasiswa dari tingkat sarjana hingga doktoral (visiting scholar) dari berbagai negara seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, Rusia, dan negara Eropa lainnya setiap tahunnya. Para peneliti tamu itu tidak hanya menggali informasi di perpustakaan?yang memiliki 25 ribu judul buku dan 250 terbitan berkala dalam dan luar negeri?tapi juga bisa mendapat ruang kerja di gedung CSIS. Bahkan, pihak CSIS menyediakan dua buah kamar?masing-masing dengan dua tempat tidur single?yang terletak di lantai 4 dan 5 untuk tempat tinggal sementara peneliti tamu yang tidak punya cukup uang untuk indekos. Peneliti dengan topik yang relevan dengan kajian CSIS akan dibantu. Seperti kata Rizal Mallarangeng, doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, AS, CSIS adalah tempat yang nyaman untuk berpikir. "Di mana ada lembaga (di Indonesia) yang memiliki koleksi buku seperti CSIS? Enggak ada," kata Rizal, yang bergabung dengan CSIS sejak Juli lalu. Nama besar CSIS sebagai lembaga pengkajian bertaraf internasional memang tidak diragukan. Tapi lembaga yang didirikan oleh Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani ini juga punya stempel dekat dengan pemerintah Orde Baru. Itu terutama karena buku Ali Moertopo berjudul Dasar-Dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, yang dibuat di CSIS, ditetapkan MPR sebagai strategi pembangunan nasional jangka panjang pada 1972. Akibatnya, CSIS kerap disebut sebagai pusat think tank-nya Soeharto, presiden saat itu. Cap lain yang melekat adalah pusat intelektual Katolik yang memiliki tujuan tersembunyi, serta terlalu dekat dengan Golkar dan tentara. Para sesepuh CSIS tidak menyangkal pernah mendengar semua anggapan itu. Menurut salah satu pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi, persepsi itu berkembang karena orang-orang CSIS memang dekat dengan penguasa dan pembuat keputusan. "Tapi semua itu bukan sesuatu yang by design," kata Harry. Menurut dia, hanya kebetulan Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani adalah penasihat Soeharto, sementara Benny Moerdani militer dan Katolik, sedangkan Harry dan Jusuf Wanandi adalah orang Golkar. Lagi pula, menurut Harry, dengan kondisi politik seperti saat Orde Baru, lembaga penelitian mana pun tidak mungkin hadir bila tidak mendukung pemerintah. Tapi, menurut Direktur Eksekutif CSIS Hadi Soesastro, CSIS sudah menjauh dari kekuasaan ketika Orde Baru masih berkuasa. "Belakangan, kita dimusuhi Soeharto, dan orang melihat kita bukan lagi bagian rezim," katanya. Hal ini terjadi setelah Ali Moertopo tersingkir dari kekuasaan. Bahkan, tak kurang dari Soeharto sendiri, dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, membantah isu CSIS sebagai dapur pemerintah. "Itu tidak benar," tulisnya. Indria Samego, direktur lembaga kajian Center for Information and Development Studies (Cides), yang didirikan sebagai tandingan CSIS, juga tidak sependapat dengan anggapan bahwa CSIS adalah institusi kepentingan umat Katolik. "Kebetulan saja pendirinya kebanyakan beragama Katolik," katanya. Tersisih dari pusat kekuasaan tak membuat CSIS runtuh. Sejak 1985, lembaga nirlaba ini lebih banyak berkiprah memberikan masukan untuk perdebatan publik. Sedangkan masukan untuk pemerintah relatif berkurang. "Pemerintah waktu itu sudah merasa established, merasa pintar, jadi tidak membutuhkan masukan dari masyarakat," kata Hadi. Maka, dilihat dari perkembangan masyarakat madani di Indonesia, zaman keemasan CSIS bukan di masa rezim Orde Baru, tapi justru saat ini. "Sekarang kita memiliki ruang gerak yang lebih besar dibanding dulu," katanya. CSIS memang telah berkembang dalam atmosfer politik yang lebih leluasa. Saat ini, gedung berlantai enam itu menampung 120 anggota staf?45 di antaranya adalah analis dari bagian ekonomi, politik dan perubahan sosial, dan hubungan internasional. Pun CSIS sudah dipenuhi dengan peneliti-peneliti muda seperti Rizal Mallarangeng. Menurut Hadi, sebelum ada reformasi di negara ini, CSIS sudah me-mulai reformasi, yaitu dengan menunjukkan bahwa CSIS bukan think tank-nya Ali Moertopo. Tapi ada yang tidak berubah: CSIS ada karena jasa Ali dan Soedjono. Kedudukan mereka istimewa, hingga masih ada ruangan yang oleh kalangan dalam CSIS disebut "ruangan Pak Ali" dan "ruangan Pak Soedjono". Kedua ruangan itu adalah ruangan terbaik di antara ruangan-ruangan peneliti senior yang terletak di lantai tiga. Menurut Hadi Soesastro, CSIS tak mungkin melupakan jasa kedua pendiri yang banyak membantu mengumpulkan dana abadi CSIS itu. "Walau, kalau dia masih hidup, saya yakin Pak Ali akan marah kalau ada yang menyebut CSIS adalah buatannya," kata Hadi.
Bina Bektiati, I G.G. Maha Adi
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/09/10/NAS/mbm.20010910.NAS83379.id.html

Dari Eropa Ke Tanah Abang III
01 Februari 2010

PADA akhir Oktober 1964, impian saya sejak remaja untuk menuntut ilmu di Sorbonne, Paris, menjadi kenyataan. Saya pergi ke kota di Eropa Barat itu ditemani istri saya, Sri Soelastri, dan putri tunggal saya, Sri Sulaksmi Damayanti, yang masih berumur satu tahun dua bulan. Saya mendapat kesempatan belajar ekonomi di Universite Pluridisiplinaire de Paris I, Pantheon-Sorbonne, dengan beasiswa Ford Foundation dan persetujuan pemerintah.

Di Sorbonne, saya mengambil dua program doktoral: satu untuk ilmu hubungan internasional dan keuangan internasional, satu lagi doktor untuk ilmu ekonomi. Kepergian saya ke Paris agak terlambat beberapa bulan karena dihalangi oleh pimpinan fakultas ekonomi tempat saya menimba ilmu sebelumnya. Dia lebih setuju saya meraih gelar doktor di Amerika Serikat, seperti Berkeley atau kampus lain di sana, bukan di Prancis.

Di Prancis, saya aktif dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Saya menjadi Ketua PPI Prancis. Saya mengajak teman-teman untuk rutin setiap tahun menggelar seminar ilmiah secara berkala dan bergiliran di semua negara yang memiliki PPI. Eropa itu gudang ilmu, jadi jangan pulang hanya berbekal titel, tapi membawa segudang ilmu. Kegiatan itu akhirnya terwujud. Seminar tidak menghasilkan kesimpulan yang merupakan kesepakatan bersama, apalagi resolusi. Tujuan konferensi ini adalah berbagi pengetahuan.

Pada 1967, kami menggelar seminar ilmiah untuk kedua kalinya. Seminar yang diadakan di Belanda itu mengusung topik "Pertahanan dan Keamanan Indonesia". Saya sebelumnya menceritakan ide itu kepada atase militer RI di Paris, Kolonel Supartono, supaya tidak dianggap "melangkahi". Tapi rupanya reaksi sang Kolonel tidak ramah. Dengan angkuhnya dia menyatakan kok berani-beraninya saya mengajak para mahasiswa membahas masalah pertahanan. Tanpa gentar saya katakan kepadanya, tema pertahanan dan keamanan itu bukan bahan kajian yang hanya diperuntukkan bagi para dewa.

Saya merasa perlu mendiskusikan masalah ini karena peperangan di masa depan pasti bersifat menyeluruh. Setiap warga negara, entah sipil entah militer, punya peluang sama untuk mati. Jadi, setiap warga negara berhak membahas cara hidup-mati tersebut. Saya juga menjelaskan kepadanya bahwa dia dan semua atase militer yang bertugas di Eropa tidak perlu khawatir saya dan teman-teman mahasiswa PPI Eropa Barat akan mencampuri perang mereka.

Rencana seminar itu rupanya sampai ke Tanah Air. Mungkin karena beritanya dipelintir, terkesan ada perpecahan di kalangan mahasiswa di Eropa dan saya dianggap sebagai biang keladinya. Ali Moertopo, yang waktu itu menjabat asisten pribadi Presiden Soeharto, muncul di Paris. Dia sedang dalam perjalanan pulang dari misinya ke beberapa negara dan singgah di ibu kota Prancis itu. Saya diajak Sofjan Wanandi berkenalan dengannya. Kami terangkan sejelas-jelasnya apa yang sebetulnya terjadi. Kami tidak pernah punya niat memberontak. Kami tidak memegang senjata, tapi konsep pertahanan dan keamanan. Untunglah dia mengerti dan justru mendukung rencana tersebut. "Lo, itu kan apik," katanya waktu itu.

Dari diskusi dengan Ali Moertopo, muncullah ide melembagakan kelompok diskusi tersebut, semacam think tank. Kebetulan di Jakarta ada kelompok cendekiawan muda yang berpikiran sama. Mereka biasa menerima makalah konferensi ilmiah yang memang kami kirim ke Indonesia.

Pada akhir 1971, dibentuklah Center for Strategic and International Studies (CSIS) oleh para intelektual yang dulu turut mendukung konferensi ilmiah di kalangan anggota PPI se-Eropa Barat dan para cendekiawan muda di Jakarta, seperti Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, Djisman Simandjuntak, dan Hadi Susastro. Ketika saya pulang ke Tanah Air dua tahun kemudian, mereka meminta saya menjadi Ketua Dewan Direktur CSIS. Kebetulan saya memang tidak berminat kembali ke almamater saya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lagi pula jurusan saya, ekonomi pemerintahan (public economic administration), sudah ditutup. Saya tidak tahu kapan, tapi kami memang dimusuhi karena dianggap penganut ekonomi liberal.

Saya terima ajakan mereka setelah berkonsultasi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Thayeb. Ternyata Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, Wakil Ketua Bakin, turut aktif mensponsori pendirian CSIS. Berbeda dengan Ali, saya mengenal Soedjono secara pribadi setelah tiba di Tanah Air. Saya diperkenalkan oleh Sofjan Wanandi. Saya diajak ke rumahnya di daerah Jatinegara. Keduanya lantas kami angkat sebagai "ketua kehormatan" dalam jajaran kepemimpinan CSIS. Saya pikir para peneliti dan analis sipil di lembaga pengkajian ini dalam kerjanya sehari-hari memerlukan mitra kerja militer yang berpandangan tak picik.

Pilihan kami ternyata memang tak salah. Baik Ali maupun Soedjono ternyata memang orang yang gemar belajar. Terutama Ali Moertopo. Dia sangat agresif mengajukan pertanyaan dan mengajak berdebat, bahkan sampai kami tidak punya waktu untuk bekerja. Saya masih ingat, setiap kali ajudannya menelepon untuk memberitahukan bahwa dia mau datang ke kantor di Tanah Abang III, saya sengaja mengunci kamar kerja dan mematikan lampu. Saya tahu banyak teman yang juga bersembunyi di perpustakaan untuk mengelak dari "gangguan" Pak Ali.

Temperamen Soedjono berbeda dengan Ali. Tindak-tanduknya sama sekali tak menunjukkan ciri-ciri kemiliteran. Baik pertanyaan maupun jawaban diajukan dengan sangat hati-hati agar tak menyinggung perasaan. Kalaupun dia membantah, itu selalu diucapkan dengan lemah lembut. Belakangan, setelah saya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, hubungan kami makin akrab.

Sayangnya, banyak yang mencurigai lembaga ini. Saya tidak tahu kenapa. Bahkan, ketika Ali dengan caranya sendiri mulai mengkritik konsep pembangunan yang berlaku, beredar rumor bahwa CSIS berkomplot hendak menggoyahkan kepemimpinan Presiden Soeharto. Ketika Ali Moertopo meninggal, menyebar pula desas-desus bahwa CSIS bakal segera mati karena telah kehilangan "pelindungnya". Toh, lembaga ini tetap eksis, karena kami tidak bergantung pada individu tertentu. Kami tak menggunakan nama seseorang. Lembaga ini juga didirikan bukan untuk mengidolakan tokoh. Yang ditonjolkan oleh nama dan kegiatan CSIS adalah kegiatan studi.

Makanya, ketika ada yang mengusulkan agar dicari ketua kehormatan yang baru, kami menolak. Kami tidak perlu pelindung. Pelindung kami cukup otak kami. Kami mengandalkan kekuatan nalar individu. Saya ingat perkataan Ali Moertopo kurang dari lima bulan sebelum wafat: "Saya bisa mati, tetapi ide jalan terus."

Nunuy Nurhayati
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/02/01/MEM/mbm.20100201.MEM132618.id.html

(CSIS) Mengenang Ali Moertopo

Dalam rangka mengenang 20 tahun wafatnya Ali Moertopo, CSIS menggelar acara ramah tamah bersama keluarga besar Ali Moertopo beserta para kerabat dan sahabat di gedung CSIS. Suasana kekeluargaan begitu terasa seiring dengan keindahan lantunan karawitan CSIS, Larasing Nalar.

Acara dibuka oleh Harry Tjan Silalahi, anggota Dewan Eksekutif CSIS. Dalam sambutannya, Harry Tjan menekankan devosi Pak Ali kepada negara Indonesia dan merefleksikan pengalaman beliau di tengah perubahan-perubahan penting dari tatanan konstitusional, politik, ekonomi dan perkembangan budaya bangsa.

Semasa aktif di dalam kehidupan politik Pak Ali juga banyak mendirikan, turut mendirikan, atau setidaknya mendukung akan pendirian-pendirian lembaga-lembaga yang bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya Harian Suara Karya, FBSI, KNPI, Golongan Karya sebagai organisasi politik bahkan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta yang sangat relevan dalam peringatan hari ini adalah jasa-jasanya untuk CSIS. Tentu lembaga-lembaga warisannya ini sekarang telah mengalami perkembangan sesuai dengan panggilan jamannya, namun tidak dapat disangkal bahwa beliau telah meletakkan rintisan-rintisan ke depan. Hadir untuk memberikan kata sambutan adalah putra dari Bapak Ali Moertopo, Harris Ali Moerfi.

Tiga peneliti CSIS dari tiga zaman berbagi pemikiran dalam mengenang Bapak Ali Moertopo. Mereka adalah: Jusuf Wanandi, sahabat dekat beliau di masa permulaan Orde Baru dan bersama-sama menata dasar-dasar yang kemudian menjadi landasan kehidupan bernegara hingga saat ini. Dalam tulisan yang berjudul "Mengenang Jasa-jasa Bapak Ali Moertopo bagi Bangsa dan Negara" dilukiskan akan karya bakti Ali Moertopo yang dilandasi ketulus-ikhlasan demi nusa bangsa Indonesia dan juga kepemimpinan Pak Harto.

Kedua, Ari Perdana, dalam judul "Jejak Pemikiran Ekonomi Ali Moertopo" menggambarkan tanggapan anak muda Indonesia menyongsong masa depan bangsanya. Ini dapat dibandingkan dengan gagasan Ali Moertopo disertai harapan-harapannya di bidang ekonomi yang dilihat 25 tahun yang lalu.

Terakhir, Indra J. Piliang, dalam "Menemukan Otentisitas: Catatan Pemikiran Politik Ali Moertopo" membandingkan perkembangan sosial politik semenjak digulirkannya "Akselerasi Modernisasi 25 Tahun" oleh Ali Moertopo. Ada yang jalannya mulus berhasil dan tentu ada yang gagal atau ada yang perlu dikoreksi. Ini menampakkan dinamika masyarakat Indonesia.

Dalam acara ini, diputar pula film "Ali Moertopo dalam Kenangan" yang disutradarai oleh Des Alwi. Setelah itu keluarga besar Ali Moertopo mengucapkan terima kasih atas kehadiran para kerabat dan sahabat dengan membagikan beberapa buku tentang Ali Moertopo. Acara ditutup dengan makan malam.

Sumber: http://www.csis.or.id/events_past_view.asp?id=38&tab=2

Ali Moertopo dan Dunia Intelijen

Untold Story / the X files Oleh : Syaifudin Bidakara
(cuplikan dari buku bertajuk “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974”, Heru Cahyono, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998) Halaman 44-50: 6

ALI DAN DUNIA INTELIJEN(1)

Saya dengar pada tahun 1966, Ali Moertopo ditugasi oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk menjadi perwira penghubung untuk melaksanakan proses rekonsiliasi antara Indonesia-Malaysia. Operasi intelijen ini disebut Opsus (Operasi Khusus). Beserta Kolonel Ali Moertopo waktu itu antara lain Brigjen Kemal Idris dan Asisten I Kopur Kostrad LB Moerdani. Belakangan nama Opsus ini melembaga dan seakan-akan menjadi cap bagi segala kegiatan operasi intelijen, tidak saja di bidang militer, tetapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. [1]

[1] Lihat, Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: dari Pemilu sampai Malari, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992) hlm. 65. ;)

Mungkin lantaran sudah percaya, sekali waktu sebagai Kepala Opsus itulah Ali Moertopo rupanya diserahi lagi tugas oleh Pak Harto, namun kali ini tugasnya ialah rekayasa politik yang dikenal pula dengan sebutan penggalangan (conditioning), rekaya dari atas (engineering from above).

Rekayasa politik pada waktu itu memang mutlak kita butuhkan karena Angkatan Darat menghadapi bahaya selain PKI, kekuasaan Bung Karno, dan juga masyarakat Nasakom. Kita ini saat itu boleh dikata berjuang sendirian, tak ada teman, sementara kekuatan-kekuatan yang anti-PKI –yakni PSI dan Masjumi—jauh sebelumnya sudah dibubarkan oleh Bung Karno.

Sementara dalam rangka memenangkan pemilihan umum 1971, Kino-Kino sendiri, khususnya yang tergabung dalam Trikarya, tidak tampak memainkan partisipasi aktif dalam proses kampanye. Sekber Golkar lebih banyak dikelola oleh kelompok Ali Moertopo, Hankam, dan Menteri Dalam Negeri; khususnya dua yang pertama.

Operasi-operasi Opsus bermanfaat dalam memperkuat Sekber Golkar. Pelaksanaan operasi biasanya dengan jalan interensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai, untuk kemudian “memanipulasi” konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan, sehingga pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Operasi penggalangan oleh Opsus juga guna menjamin bahwa kelompok-kelompok yang mungkin dapat mengobarkan permusuhan, tidak memegang kendali organisasi yang masih dapat menghimpun dukungan besar.

Target pertama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Operasi yang dilakukan Opsus menghasilkan terpilihnya Hadisubeno, menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwifungsi ABRI. Lalu diikuti dengan rekayasa terhadap partai kecil IPKI dari kelompok nasionalis lainnya, sehingga kongres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah. Tindakan yang sama juga menimpa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kongres 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya memperoleh dukungan dari Opsus. Operasi-operasi serupa dalam waktu hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia).

Rekayasa terhadap kalangan Islam juga cukup terkemuka, yakni bagaimana Opsus melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis dengan basis masa dari bekas-bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar.

Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya sejak awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial.

Sehingga policy umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno pada umumnya, sambil secara amat berhati-hati mencegah naiknya sayap Islam.

Tugas Opsus adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan merekayasa sifatnya dalam waktu yang pendek lagi cepat. Misalnya tentang PWI. Kalau PWI waktu itu orientasinya masih ke Bung Karno, maka kita ubah pimpinannya. Seperti itu urusan Ali Moertopo.

Semua partai direkayasa dengan tujuan untuk membangun poros Pancasila, sehingga yang Nasakom dikeluarkan dari semua organisasi yang ada. Pada kondisi saat itu, rekayasa semacam ini tak bisa disalahkan, bahkan walaupun saya tidak terlibat, secara obyektif saya menilai Ali Moertopo sangat besar jasanya, bahwa rekayasa-rekayasa yang dilakukan oleh Ali Moertopo memang amat diperlukan. Operasi semacam itu dimaksudkan untuk menata kehidupan politik, khususnya menyangkut pembenahan infrstruktur politik (untuk mendobrak infrastruktur politik yang berorientasi pada ideologi dan golongan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan pola yang diperlukan bagi pembangunan), termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan fungsional. Lha, bagaimana Pak Harto sebagai pemegang SP-11 mampu melaksanakan tugasnyakalau MPR/DPR-nya masih dominan Nasakom? Tentu tidak mungkin. Seperti PNI, walaupun partai tersebut anti-PKI tetapi PNI ada masalah dengan Bung Karno karena memiliki hubungan dekat dengan Bung Karno. Waktu itu PKI juga meniupkan isu bahwa Angkatan Darat mau mengadakan kup terhadap Bung Karno. Akibatnya PNI bukan main curiganya terhadap Angkatan Darat, termasuk kecurigaan yang datang dari angkatan-angkatan lain yaitu Angkatan Laut, Angkatan Udara, maupun Polri.

Tidak dapat disangsikan lagi, Ali Moertopo adalah tokoh yang berperanan amat penting dalam sukses Golkar pada pemilihan umum 1971, sekaligus membuat pamornya naik di mata Pak Harto. Ia adalah tokoh yang mendapat tugas langsung dari Pak Harto untuk suatu tugas conditioning, dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan ekstrim mana pun. Sejarah kemudian mencatat Opsus-nya Ali memainkan peranan yang menonjol dan disegani sekaligus ditakuti dan dibenci lantaran dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.

Kendati tidak bisa dielakkan timbulnya rasa sakit dan luka di mana-mana, saya akui jasa Ali (dalam konteks tugas conditioning) amatlah besar bagi perjuangan Orde Baru dalam mengamankan Pancasila.

Kecuali lembaga studi tertentu [tds], lembaga kedua yang diperkuat oleh Ali Moertopo adalah Opsus, yang kelak terlihat gejala-gejala semakin berfungsi sebagai intelijen di samping intelijen resmi yang telah ada. Semula, pada permulaan Orde Baru, Opsus mesti diakui bermanfaat dalam menggalang reformasi politik (political reform) guna memperkuat poros Pancasila dan menetralisasi kekuatan Nasakom melalui rekayasa-rekayasa terhadap semua orsospol dan organisasi kemasyarakatan dan profesi.

(tds = tambahan dari saya: yang dimaksud lembaga studi tertentu adalah CSIS)

Selain berfungsi intelijen, Opsusmenjadi tempat untuk pengembangan disinformation system yang secara vertikal ditujukan untuk memberi pengaruh kepada penciptaan opini dari pusat pengambilan keputusan politik (centre of political power), yaitu Pak Harto. Manipulasi informasi oleh Opsus ini juga membawa pengaruh secara horizontal ke berbagai lapisan masyarakat dan lapisan kelembagaan. Disinformation system antara lain melahirkan suatu tindakan yang bersifat represif berikut praktek-praktek menghilangkan jejak dengan cara macam-macam.

Ali kelihatan sangat antusias menjalani kehidupan dan petualangan intelijennya. Sebagai Komandan Opsus, ia mengembangkan organisasi tersebut menjadi organisasi intelijen partikelir dengan mengambil alih fungsi-fungsi intelijen dari Bakin (Badan Koordinasi Intelijen). Tersadap kemudian bahwa ia memiliki ambisi-ambisi untuk mencapai posisi puncak di dunia intelijen. Ini merupakan perkembangan menarik dari pribadi seorang Ali Moertopo mengingat ia sebelumnya tidak dikenal berkecimpung dalam intel. Maka ketika ia di Opsus, saya menyebutnya sebagai intel palsu. Intel yang asli adalah Jenderal Sutopo Juwono atau Jenderal Yoga Sugama.

(Saya kurang mengetahui apakah Ali Moertopo pernah mendapat pendidikan intelijen, entah itu di dalam atau di luar negeri. Hanya dengar-dengar ia pernah sebentar belajar intelijen di Bogor pada sekitar tahun 1950-an). [tds]

(tds = tambahan dari saya: yang di Bogor untuk pendidikan dasar, sedangkan yang baru-baru ini diresmikan Megawati adalah sekolah intel untuk tingkat lanjutan, berlokasi di BATAM, diresmikan 9 Juli 2003 lalu).

Bidang garapan Opsus sangat luas meliputi aspek ekonomi, intelijen, sampai melaksanakan penyelundupan bear-besaran. Tahun 1970-an organisasi ini pernah melakukan penyelundupan besar-besaran agar barang di dalam negeri menjadi murah. Waktu itu menjelang lebaran, beberapa kapal masuk dari Singapura menyelundupkan tekstil dan baju jadi.

Di Opsus, Ali Moertopo memiliki sejumlah orang kepercayaan. Tangan kanan Ali di bidang keuangan adalah Kolonel Ngaeran dan Kolonel Giyanto bagian “grasak-grusuk” cari uang. Saudara Giyanto dikatakan yang tahu di mana disimpannya uang-uang Opsus di luar negeri. Bidang operasi Kolonel Sumardan, sementara Kol. Pitut Soeharto bidang penggalangan politik Islam seperti menggarap PPP, NU, dan bekas DI. Di bagian pembinaan umat Islam ini, Pitut membina umat yang belum tergabung dalam suatu organisasi atau mereka yang masih liar. Bekas-bekas Darul Islam, umpamanya, itu urusan Pitut.

Sebagai gambaran mengenai sepak-terjang unsur-unsur Opsus, seorang bekas sejawat Pitut belakangan mengatakan, “Saya tidak senang dengan cara main Pitut, sebab bisa hancur sendiri. Ia terlalu banyak manuver, membohongi orang di sana-sini, tak malu walau ketahuan, air mukanya tetap biasa saja. Saya tidak mau begitu, nanti tidak punya sahabat. Buktinya sekarang, saat sudah bukan apa-apa lagi maka orang enggan menemuinya, sekadar menengok sekalipun.”

Mengikuti pola di dalam pengorganisasian intelijen, keanggotaan Opsus terbagi dua, di samping ada anggota organik (member of the organization) juga terdapat anggota jaring (member of the net). Anggota jaring kurang terikat, bila suatu proyek selesai maka bubar pula mereka, karena yang ada di sini biasanya dengan motivasi mencari uang atau sekedar advonturisme.

Yang termasuk anggota organik Opsus antara lain Pitut Soeharto, Letkol Utomo, Utoro SH. Sedangkan yang tergolong anggota jaring ialah Bambang Trisulo, Leo Tomasoa, Lim Bian Koen, Liem Bian Kie, Monang Pasaribu, Daoed Joesoef, dr. Suryanto, dan banyak yang lainnya lagi. [tds]

(tds = tambahan dari saya: Daoed Joesoef adalah salah seorang pendiri CSIS, dan ketika menjadi Menteri Pendidikan menerbitkan peraturan tidak libur selama Ramadhan, juga merubah tahun ajaran baru dari Januari ke Juli. Liem Bian Khoen dan Liem Bian Khie adalah kakak beradik yang bernama Sofyan Wanandi dan Yusuf Wanandi. Sofyan Wanandi sejak awal Orde Baru menjadi pengusaha, ketika Habibie menjadi presiden, ia sangat kritis. Yusuf Wanandi tetap di CSIS sampai kini).

Abdul Gafur disebut-sebut sebagai salah seorang bekas anggota jaring Opsus dan sempat dekat dengan lembaga studi tertentu, namun belakangan renggang.

Dana untuk Opsus besar sekali dan nyaris tak terbatas, entah dari mana dapatnya, di samping dari “usaha” sendiri yang dilakukan oleh para anggota organisasi, Soedjono Hoemardani juga biasa “mengusahakan” pendanaan bagi Opsus. Jadi kalau sepintas terlihat bahwa Opsus begitu kuat, antara lain berkat kuatnya dukungan pembiyaan. Berapa persisnya anggaran Opsus, kita tidak pernah tahu, tapi yang jelas di bawah Ali Moertopo organisasi tersebut kelihatan kaya-raya dan dana mereka jauh lebih banyak dari yang dipunyai oleh intel Kopkamtib misalnya.

Bersambung.........

ALI DAN DUNIA INTELIJEN (2)


SUASANA DI BAKIN

Rupa-rupanya benar dugaan orang bahwa sasaran Ali Moertopo ialah menguasai intelijen, sebab disadari Opsus tidak berkompeten melakukan tugas-tugas intelijen. Dengan diangkatnya ia menjadi Deputy Bakin, maka secara perlahan-lahan (creeping) Ali menguasai intelijen.

Ketua Bakin Jenderal Sutopo Juwono terlihat sangat kikuk mengenai bagaimana menghadapi Ali Moertopo sebagai salah satu deputi-nya di Bakin. Ali Moertopo dilukiskan kerap berbeda irama dengan kebijaksanaan atasan ketimbang mendengarkan petunjuk Kabakin Sutopo Juwono. Dalam kaitan ini, Ali kerap berdalih bahwa ia berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Situasi ini niscaya menyulut pertentangan yang amat tajam di dalam tubuh Bakin antara yang berafiliasi kepada Deputi III Ali Moertopo dengan yang condong pada Kepala Bakin Sutopo Juwono yang bekerja dengan menegakkan norma-norma intelijen. Terlihat betul bahwa Ali sangat berkepentingan menjadi pimpinan Bakin.

Deputi Bakin kala itu ada empat, urusan penggalangan kebetulan bidangnya Ali Moertopo, bidang security Brigjen Soeprapto (yang kemudian diganti Brigjen Slamet TW), lalu deputi intel luar dan dalam negeri adalah Jenderal Nicklany, dan bidang pendidikan Jenderal Hernowo, serta laporan-laporan intel ditangani Jenderal Samosir.

Dalam ketegangan di tubuh Bakin antara Sutopo-Ali, terlihat bahwa Kolonel Atwar Nurhadi dan Kolonel Suluh Dumadi berafiliasi kepada Sutopo. Deputi I bidang penyelidikan Dalam Negeri, Jenderal Nicklany (almarhum) secara tegas juga mengambil sikap menentang sepak terjang Ali Moertopo di Bakin. Sementara pengikut-pengikut Ali Moertopo antara lain Kolonel Sumardan, Kolonel Marsudi, Letkol Pitut Soeharto, Letkol Alexiyus Sugiyanto, dan Letkol Suhardi Oetomo.

Brigjend Soeprapto (Deputi II Bakin bidang Keamanan, mantan Kasintel Kodam Diponegoro), terlihat enggan melibatkan diri.

Di antara pengikut-pengikut Ali Moertopo di Bakin terdapat sejumlah orang yang kemudian ketahuan sebagai PKI. Salah satunya ialah Kolonel Marsudi, yang ditangkap dan dijebloskan ke RTM pada tahun 1969. Marsudi dikenal pula orang dekat Pak Harto sewaktu Pak Harto masih letnan kolonel memimpin serangan ke Yogya. Sebagai asisten intel Pak Harto, yang pertama kali masuk ke Yogya adalah pasukan Marsudi.

Kalau seorang pemimpin menggunakan dua cara sekaligus, alat yang institusional dan yang free wheelers, harus betul-betul sinkron di antara keduanya.

Di sini situasinya dulu lebih ruwet lagi, mengapa demikian, karena Ali Moertopo juga sebagai salah satu deputi di Bakin untuk urusan penggalangan. Salah satu contoh yang sangat memusingkan Ka Bakin Jenderal Sutopo Juwono adalah ketika Ali punya ide untuk menggunakan orang-orang DI. Ka Bakin Sutopo Juwono melarang, “Jangan, risikonya terlalu besar nanti, sebab orang-orang DI suka macam-macam, karena merasa punya jasa ikut menghancurkan G30S segala macam, nanti mereka bisa menagih janji. Maka lebih baik jangan!”

Tapi Ali tidak nggugu (tidak mendengarkan) apa yang dikatakan atasannya, malah ia jalan sendiri dengan alasan: “Lho, saya tidak di bawah Pak Topo saja kok. Saya juga di bawah Pak Harto langsung, saya bertanggungjawab kepada Pak Harto, jadi tidak perlu semua langkah saya dipertanggungjawabkan kepada Pak Topo. Masalah ini tidak perlu saya pertanggungjawabkan kepada Pak Topo, tapi kepada Pak Harto.”

Ali waktu itu menjabat Asisten Pribadi Presiden dan di samping ia masih mempunyai alat sendiri yang disebut Operasi Khusus (Opsus). Dus, masalahnya Ali Moertopo punya dua topi, dan kadang-kadang Sutopo Juwono merasa kepontal-pontal (selalu ketinggalan), terutama dalam penggalangan politik dalam negeri. Posisi Ali Moertopo sebagai Opsus dan Aspri membuat ia tidak bisa diserang dari mana-mana. Sangat kuat. Bagi kita, kalau melihat Opsus, senantiasa melihat Pak Harto; juga, kalau melihat Aspri ya melihat Pak Harto.

Berani dan suka nekad, serta lebih banyak menuruti kemauan sendiri: itulah Ali! Sehingga banyak sekali kegiatan Ali Moertopo atau bawahannya yang tidak sinkron dengan kegiatan anggota-anggota Bakin lainnya. Langkah-langkah Ali Moertopo menjadi selalu kurang pas dengan apa yang digariskan Jenderal Sutopo Juwono sebagai Ka Bakin. Seperti masalah penggalangan bekas-bekas DI Jawa Barat. Lantaran Bakin melarang, maka yang membina kemudian adalah Opsus. Oleh Jenderal Topo itu dinilai sudah melanggar, karena Ali Moertopo sebagai deputi Bakin tidak lagi mendengarkan kata-kata atasannya.

Para bekas DI semula dibina oleh Kodam Siliwangi supaya mereka jangan melakukan gerakan-gerakan lagi. Tapi sekonyong-konyong ditarik oleh Ali Moertopo ke Jakarta, namun dalam hal ini Kodam Siliwangi tidak bisa beruat apa-apa. Sedari itu hubungan Siliwangi dengan Ali Moertopo menjadi kurang baik.

Mereka yang ditarik ke Jakarta, antara lain anaknya Kartosuwiryo yaitu Dodo Kartosuwiryo, sebagian lagi adalah bekas teman-teman Ali Moertopo di Pekalongan seperti Adah Zaelani [tds] dan Amir Fatah. Hubungan Ali dengan Dodo sudah dibina sejak ramai-ramai Subandrio hendak ditangkap. Sempat terdengan Dodo bersedia berhubungan karena mau dipakai untuk membunuh Soebandrio. (Kelak, mungkin karena pembinaannya yang kurang baik, akhirnya mereka lepas kendali, dan akhirnya menjadi bumerang dan menentang pemerintah, yaitu melalui kasus pemboman BCA dan juga kasus Woyla [tds]. Ibarat Ali Moertopo membina macan, lantas sang macan menjadi besar dan akhirnya memakan “majikan”-nya sendiri).

(tds = tambahan dari saya: yang dimaksud pastilah Adah Djaelani, yang kini menjadi petinggi Ma’had Al-Zaytun)

(tds = tambahan dari saya: Pemboman BCA dan pembajakan Woyla tidak ada kaitannya dengan orang-orang bekas DI, tetapi berkaitan dengan kasus Komando Jihad. Mungkin Soemitro agak bingung membedakan antara Rahmat Basuki (pelaku pemboman BCA 1984) dengan Tahmid Rahmat Basuki putra Kartosoewiryo).

Sejak memasuki tahun 1970-an sudah tercipta suasana yang kisruh, tawur terus, antara intelijen resmi dengan Opsus.

Ketegangan antara Nicklany dengan Ali Moertopo sangat terasa, apa persoalan yang sebenarnya tidak pernah jelas, mungkin karena penggunaan agen. Dibanding hubungan Topo-Ali, ketegangan Nicklany-Ali lebih memuncak dan terasa sampai di permukaan.

Saya dengar ketidaksukaan Jenderal Nick terhadap Jenderal Ali Moertopo karena Ali yang belakangan masuk Bakin telah mengambil langkah-langkah sendiri yang berbeda dengan garis kebijakan Bakin sebelumnya. Pendek kata, dengan masuknya Ali di Bakin, Jenderal Nick merasakan suasana yang agak lain. Perbedaannya terletak pada soal penggalangan-penggalangan, antara lain mengenai penggalangan bekas-bekas DI yang semula dibina oleh Siliwangi kemudian tiba-tiba ditarik ke Jakarta/Bakin oleh Ali Moertopo. Bekas-bekas DI itu diberi uang segala. Teman-teman di Bakin, serta tentunya juga rekan-rekan di Siliwangi yang pernah sempat “berkelahi” dan berperang dengan DI merasa dongkol jadinya, “Bekas-bekas musuh kok dapat duit, kita malah tidak.”

“Lho mereka itu DI, sementara kami ini pernah berperang melawan Adah Zaelani atau baku tembak dengan Dodo Kartosuwiryo. Anak buah atau sahabat kita pernah mati. Lho, mengapa kemudian ketemu di tempatnya Ali Moertopo di Bakin,” demikianlah perasaan yang senantiasa tetap terbersit di kalangan Siliwangi.

Semua di atas kembali membuktikan bahwa struktur yang tumpang-tindih antara yang institusional dengan yang free wheelers memang membikin kacau. Kalau semuanya akur saja, sudah ruwet, apalagi jiak ada ketidakharmonisan yang sedikit banyak dipengaruhi pula oleh watak masing-masing.

Lantaran yang paling keras menghadapi Ali Moertopo di dalam tubuh Bakin adalah Jenderal Nicklany, maka Nick pun jadi sasaran tembak. Sampai suatu ketika Pak Harto membicarakan mengenai rencana pemindahan untuk sementara (almarhum) Jenderal Nicklany ke New York sebagai atase militer. Mengenai soal Nick ini, kita sungguh merasakan bahwa itu merupakan keinginan Ali Moertopo karena Ali kelihatan “berat” menghadapi Nick. Kecuali Nick, di Bakin praktis tidak seorang pun berani berhadapan secara konfrontatif terhadap Ali.

Mengenai rencana pemindahan Jenderal Nick, saya berpendapat hal tersebut bukan urusan saya melainkan urusan Pak Harto, sebab mereka langsung di bawah Pak Harto. Namun, belakangan saya menyesal juga tidak memberi sekadar saran kepada Pak Harto, karena kemudian saya ketahui bahwa Nick cuma menjadi korban dari manuver Ali. Tapi rencana tidak baik Ali baru saya ketahui setelah Nicklany terlanjur dipindahkan, sehingga saya tidak bisa beruat apa-apa lagi.

Dengan maksud menggeser Nick, maka Ali membuat isu bahwa di Jawa Tengah ada gerakan yang hendak mendiskreditkan Pak Harto, di mana tuduhan jatuh kepada Nick. Tersiar kabar bahwa telah beredar isue macam-macam seperti Pak Harto membeli rumah, dan sebagainya. Dilihat urut-urutannya, gerakan tersebut pertama kali dilaporkan melalui Opsus, terus sampai ke lembaga studi tertentu, dan akhirnya dilaporkan ke istana.

Kepala Bakin Sutopo Juwono lantas mengadakan rapat staf dan memerintahkan anak buahnya untuk coba melihat ke Jawa Tengah, apa benar ada gerakan mendiskreditkan Presiden. Tim Bakin pun turun ke lapangan, namun mereka tidak menemukan kegiatan apapun di sana. Dan, memang sebenarnya semua itu cuma karangan, cerita reka-reka yang dibikin oleh seseorang. Itu diperkuat oleh keterangan Jenderal Jayus (almarhum) yang menegaskan bahwa Jawa Tengah aman-aman saja.

Tapi, segalanya sudah terlambat dan terlanjur dipercaya oleh Presiden. Sempat Pak Harto memanggil pula Panggabean, entah apa kaitannya, dan tak berapa lama Nick dipindah ke Washington pada tahun 1972.

Jenderal Topo Juwono pun memprotes Panggabean, dengan mengatakan bahwa kalau memang bersalah, semestinya yang harus disalahkan bukan Nick melainkan Ketua Bakin-nya.

Itulah cara Ali Moertopo untuk menggeser Nicklany. Dalam benak Jenderal Topo mulai muncul pertanyaan mungkinkah cara-cara semacam itu akan digunakan Ali Moertopo untuk memukul sasaran yang lebih besar kelak?

Untold Story / the X files Oleh : Syaifudin Bidakara
(cuplikan dari buku bertajuk “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974”, Heru Cahyono, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998) Halaman 90-94:15[/i]


INTELIJEN UNTUK KEPENTINGAN LAIN

Kembali ke soal trick-trick Ali Moertopo, ada sedikit cerita. Kebetulan Sutopo Juwono dan Ali Moertopo sedang di Hankam di mana pas sedang ada rapat. Mereka duduk-duduk tidak jauh dari ruang rapat, sehingga bisa mendengar apa yang dibicarakan. Terdengar bahwa Pak Sumrohadi (almarhum) mau diangkat jadi Puspen Hankam.

Ali Moertopo seolah-olah tidak acuh.

Tapi tidak sampai satu jam, Sutopo Juwono ditelepon oleh Sumrohadi, “Hei benar tidak aku dicalonke karo (dicalonkan oleh) Ali Moertopo untuk jadi Puspen Hankam.”

Seraya tertawa dan geleng-geleng kepala Jenderal Topo menjelaskan bahwa itu urusan Hankam dan bukan urusan Ali Moertopo, cuma kebetulan memang ia mendengar pembicaraan mengenai hal itu. “Kalau soal benar memang benar mau dijadikan Puspen Hankam, tapi tidak ada hubungannya dengan Ali Moertopo. Memang kita dengar pembicaraannya itu, tapi cuma dengar, lho wong kita orang luar kok cuma tamu,” kata Topo.

Jadi semacam itulah gaya Ali yang secara kurang terpuji memanfaatkan dan memanipulasi informasi untuk kepentingan politik dia. Banyak kejadian seperti itu, “He, kamu sudah saya usulkan jadi gubernur,” kata Ali, yang agaknya tahu banyak mengenai pembicaraan sebelumnya karena ia dekat dengan Pak Harto. Ali menelepon mendahului Mendagri yang mestinya paling berwenang. Kalau yang bersangkutan termakan omongan tersebut, maka “ditarik-tarik tali” untuk dianggap sebagai anak buah Ali Moertopo. Yang demikian terjadi di departemen mana-mana, di Deplu, di Depdagri, dan lain-lain. Kalau menurut saya sebetulnya yang paling mendongkol tapi diam saja adalah Mendagri Amir Machmud, lantaran ia “dipotongi” terus oleh Ali Moertopo. Praktek-praktek semacam ini dulu dipakai pula oleh PKI. Umpamanya, mendatangi perwira yang sedang menjalani pendidikan, lantas mengatakan bahwa seusai pendidikan akan dipromosikan. Ternyata PKI sudah memiliki akses ke Adjen/SUAD 3. Dan, memang yang dijanjikan itu benar-benar terjadi, sehingga otomatis perwira bersangkutan akan merasa berhutang budi kepada PKI.

Oleh para bekas anak buahnya Ali Moertopo dikenal sebagai tokoh yang lihai. Abdul Gafur, disuarakan sebagai salah seorang bekas anak buah Ali, sampai-sampai melukiskan Ali dalam operasi-operasinya mirip tokoh kesayangannya Ian Flemming dalam lakonlakon operasi intel James Bond 007.

Yang disebut lihai bisa bermakna positif bisa pula negatif. Kala sisi positif yang mengamuka maka kelihaian tersebut akan memberi manfaat bagi kepentingan umum, bangsa dan negara. Tapi saat sisi negatif yang muncul, maka kelihaian digunakan untuk kepentingan-kepentingan sempit seperti ambisi politik pribadi, kepentingan politik segolongan tertentu dengan cara menebar fitnah atau disinformasi dengan maksud menjatuhkan atau menjegal orang-orang yang dianggap bisa menjadi penghalang.

Ali Moertopo menjadi tokoh yang sulit diterka saat mengatakan bahwa para sarjana yang ada di CSIS sebagai sarjana advonturir. Kurang jelas bagi saya mengapa ia tega memburuk-burukkan pula kawan seiring.

Zulkifli Lubis –yang oleh orang banyak disebut-sebut sebagai bapak intel Indonesia—pun dicap advonturir oleh Ali Moertopo. Ceritanya beberapa anak buah Opsus ketemu Zulkifli Lubis, nah sepanjang pertemuan para anak buah Opsus kelihatan berulang kali mengangguk-anggukan kepala mendengar Zulkifli bicara, entah mungkin didorong oleh rasa kagum atau karena mau menghormati orangtua. Tapi, rupanya Ali Moertopo kurang suka melihat sikap anak buahnya tersebut, maka sepulangnya dari rumah Zulkifli, ia memberi pengarahan, “Eh, untuk apa tadi semua manggut-manggut. Omongan Zulkifli Lubis tidak usah diikuti sebab ia advonturir.”

Namun salah satu modus operasi Ali justru adalah dengan mengumpulkan para advonturir, semua kekuatan ia pelihara termasuk bekas DI/TII. Sebagaimana diakuinya, “Yang advonturir bukan tidak ada manfaatnya, semua bermanfaat.” Atau saat ditanya, mengapa orang-orang bekas Permesta (seperti Kolonel Somba, Kolonel Lendi Tumbelaka, dan lain-lain) dimanfaatkan/dipakai lagi, Ali Moertopo berkilah, “Kalau mereka [para bekas Permesta] itu dilepas akan liar, maka lebih baik kita kandangkan.” Jadi, dalam hal ini Ali terpaku pada teori penggalangan yang menggariskan bahwa tidak ada kawan atau lawan, pokoknya siapa pun kalau menyokong akan dijadikan kawan.

Ali Moertopo memanfaatkan sementara kekuatan-kekuatan bekas Permesta dan bekas DI/TII, dengan pelbagai pendekatan termasuk insentif material. Inilah taktik Ali dalam memupuk kekuatan-kekuatan demi kepentingan politiknya.

Saya tentu saja bertanya-tanya apakah dalam menjalankan teorinya untuk “mengandangkan” para bekas pemberontak itu, Ali juga lapor kepada Pak Harto. Apakah Presiden telah diyakinkan bahwa tindakan tersebut benar, mengingat risikonya yang tidak kecil. Pertanyaan semacam ini pantas dilontarkan mengingat dalam kasus ketegangan di Bakin akibat Ali suka “jalan sendiri” mengumpulkan para bekas DI/TII, ia senantiasa berkelit bahwa tidak perlu bertanggung jawab kepada Ketua Bakin (Badan Koordinasi Intelijen) melainkan kepada Pak Harto.

Menurut informasi yang berhasil saya korek, untuk beberapa kasus Ali melaporkannya kepada Presiden, namun beberapa kasus lainnya tidak melapor. Penggalangan terhadap para anggota DI/TII konon lebih banyak tidak dilaporkan, sebab pada tahun 1978 Presiden diberitakan marah besar menyaksikan ada Komando Jihad yang antara lain sempat membangun DI di Jawa Timur melalui Haji Ismail Pranoto (sering dipanggil orang dengan sebutan singkat: Hispran).

Komando Jihad adalah hasil penggalangan Ali Moertopo melalui jaringan Hispran di Jatim. Tapi begitu keluar, langsung ditumpas oleh tentara, sehingga menjelang akhir 1970-an ditangkaplah sejumlah mantan DI/TII binaan Ali Moertopo seperti Hispran, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, serta dua putra Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Kelak ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, terungkap beberapa keanehan. Pengadilan itu sendiri dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan [tds] umpamanya, dalam persidangan ia mengaku sebagai orang Bakin. “Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin.” [1] Belakangan Danu mati secara misterius, tak lebih dari 24 jam setelah ia keluar penjara, dan konon ia mati diracun.

[1] Lihat Tempo, 24 Desember 1983.

(tds = tambahan dari saya: Danu Mohammad Hassan dan pasukannya (TII) setelah menyerahkan diri kepada pasukan Ali Moertopo (di Jawa Tengah) kemudian digunakan oleh Ali untuk memata-matai bekas DI/TII. Setiap bulan kebutuhan ekonomisnya dipenuhi Ali Moertopo melalui Giyanto. Salah seorang putra Danu yaitu Helmy Aminuddin, seorang pendiri harakah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin versi Indonesia), yang kelak menjadi komunitas inti Partai Keadilan. Dari sini, ada yang berspekulasi bahwa Partai Keadilan merupakan bikinan intelijen. Hal ini merupakan spekulasi yang menyesatkan. Menurut salah seorang mantan intel Bakin kawan Danu yang kini masih hidup, intelijen memang “mendirikan” partai tapi yang jelas bukan Partai Keadilan)

Pemanfaatan kelompok bekas-bekas DI/TII agaknya memang dianggap menguntungkan. Melalui pola “Pancing dan Jaring” [2} para bekas DI itu dikumpulkan lantas dikorbankan (dikirim ke bui) melalui sebuah peristiwa yang semakin mengesankan bahwa Islam senantiasa berkelahi dengan ABRI, senantiasa memberontak, supaya timbul rasa alergi terhadap Islam.

[2] Salah satu teori yang biasa dipraktekkan dalam dunia intelijen yang artinya mengajak orang untuk ikut dalam sebuah proyek, tapi orang yang bersangkutan kelak akan dijerumuskan atau dikorbankan.

Kelak semua rekayasa dan kerusuhan politik akan terjadi dengan memanfaatkan para bekas DI/TII yang telah digalang itu (“dipancing dan dijaring”): Peristiwa 15 Januari dengan mengorbankan kelompok Ramadi (Ramadi sendiri santer diberitakan mati secara misterius di RSPAD Gatot Subroto), Peristiwa Komando Jihad yang antara lain membawa kematian pada diri Danu Mohammad Hassan, Peristiwa Lapangan Banteng, Peristiwa Woyla. [tds] Alhasil, semua kerusuhan itu pada dasarnya adalah produk rekayasa intelijen.

(tds = tambahan dari saya: Peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla, merupakan keberhasilan provokasi Najamuddin, intel Bakin yang menyusup ke dalam jama’ah Imran).

Sumber: http://farikhsaba.multiply.com/reviews/item/12