Selasa, 30 Maret 2010

Ali Moertopo (Tempointeraktif)

Saya memang Ikut
28 Januari 1984

MESKI namanya tak lagi muncul tiap hari di media massa seperti sewaktu menjadi menteri penerangan, Ali Moertopo masih sering disebut-sebut dalam pembicaraan sehari-hari. Terutama bila masalahnya mengenai politik Indonesia. Mungkin ini merupakan petunjuk bahwa bekas wakil kepala Bakin dan asisten pribadi presiden ini hingga sekarang masih tetap diperhitungkan". Sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung, Ali Moertopo, 60, masih sering muncul di depan umum. Dua pekan lalu, misalnya, ia hadir dalam Hari Wisuda Universitas Indonesia. Bersama istrinya, ia sempat berfoto bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto, serta anak sulungnya, Haris Ali Moertopo, yang hari itu diwisuda sebagai insinyur. Akhir pekan lalu, selama hampir dua jam, ia berbincang-bincang tentang berbagai hal dengan Susanto Pudjomartono dan James R. Lapian dari TEMPO, di kantornya di DPA. Di dinding ruang tamunya, tergantung sebuah foto: Ali Moertopo bersama Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah. Bicaranya tetap tegas dan lantang seperti dulu. Tak terlihat tanda-tanda kesehatannya terganggu. Hanya sesekali suaranya terdengar bergetar. Petikan dari wawancara itu: Bagaimana rasanya pindah dari tugas eksekulif (menteri) menjadi penasihat? Ada beberapa dimensi yang bisa dilihat. Dari sudut kepentingan pribadi, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab saya sekarang ini lebih ringan, menyenangkan, dan menguntungkan. Menurut status administrasi, DPA sejajar dengan badan legislatif. Di sini saya berhak mendapat pensiun juga. Dari profesi saya sebagai soldaat, saya berhak mendapat pensiun. Begitu juga sebagai bekas peJabat eksekutif. Ini sangat menyenangkan: orang kok bisa punya tiga pensiun sekaligus (tertawa). Bagaimana dengan dimensi lainnya? Kedua, dimensi perjuangan. Sejak Orde Baru, saya menjabat asisten pribadi presiden. Sebelumnya, saya menjadi staf pribadi presiden. Kalau dilihat fungsinya dengan pekerjaan saya sekarang, sama saja. Dulu, bahkan lebih rendah, karena hanya mengajukan laporan dan terserah pemakai. Sebagai anggota DPA, kini saya berkewajiban memberikan laporan, baik diminta maupun tidak. Dari segi ini, saya merasa bangga. Kok saya bisa mendapat kesempatan sebaik ini (diangkat sebagai anggota DPA). Sudah punya kesempatan begitu banyak, diberi kesempatan lagi. Karena itu, saya menganggap DPA sebagai lahan baru. Karena itu, kalau saya tak berhasil, memalukan sekali. Apa ukuran keberhasilan itu? Itu bisa dilihat bila saya bisa menuangkan pemikiran saya dalam kerja DPA yang mempunyai nilai strategis konsepsional. Menyadari DPA sebagai lembaga tinggi negara yang mempunyai sistem kerja kolektif, ambisi perjuangan saya adalah agar saham pemikiran yang saya berikan bisa dimengerti oleh si pemakai. Dalam hal ini presiden. Artinya, dapat digunakan untuk mengisi kelengkapan kebijaksanaan pimpinan negara dan bangsa. Dan tentu bermanfaat bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Dari berbagai jabatan yang pernah Bapak pegang, mana yang paling cocok? Dulu, saya tak berangan-angan jadi tentara. Malah sewaktu masih di SMP, bila teman orangtua atau paman saya yang menjadi tentara datang, saya tidak begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk Peta datang ke rumah, rasanya kok menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. Waktu semua orang belajar bahasa Jepang, saya juga tidak ikut. Sampai sekarang, saya hanya tahu satu kata Jepang saja: sayonara. Lalu bagaimana ceritanya hingga bisa menjadi tentara? Baru pada awal proklamasi, saya tergerak untuk ikut perjuangan. Dimulai dengan masuk Hisbullah, mengikuti teman-teman sekampung. Kemudian saya memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia). Ketika masih bergerilya dengan pangkat prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintala, saya memimpikan menjadi kapten. "Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten," doa saya setiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak pernah punya ambisi lagi. Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps, saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran. Sehingga, atasan saya Pak Yoga Soegomo pernah berkata, "Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat." Tapi promosi saya ternyata tidak berhenti. Sudah mau aman, ada PRRI, Trikora, dan Dwikora. Kemudian, saya pikir sudah akan selesai. Ternyata, masih ada Orde Baru. Selama meniti karier di luar militer, saya merasa beruntung. Dari militer kok bisa menjadi menteri, lalu menjadi pejabat lagi di DPA. Waduh, senangnya tak terkirakan. Ini merupakan pengalaman yang tidak mudah tercapai teman-teman lain. Jadi, kalau saya main-main, tidak bersungguh-sungguh mengabdi pada bangsa dan negara, berarti saya telah berkhianat. Oleh sementara pengamat, Bapak dianggap sebagai salah satu power centre di Indonesia, sebagai patron dari suatu kelompok politik. Bagaimana tanggapan Bapak? Berdasarkan Undang-undang Nomor 3/1975, hanya ada kekuatan politik dua parpol dan Golkar di Indonesia. Karena itu, saya tidak setuju kalau saya dianggap sebagai powerpolitik.Kalau saya ikut "main", itu saya akui. Tapi itu dalam artian iktikad baik saya mengabdi kepada bangsa dan negara menuju sistem kehidupan bangsa di bidang politik, yang mendukung stabilitas nasional jangka panjang. Bagaimana Bapak melihat situasi politik dalam negeri Indonesia saat ini? Dilihat dari sistem politik, kita berada pada suatu titik di mana sistem yang formal sudah selesai, tapi riil belum. Yan saya maksud formal adalah dua parpol dan Golkar. Yang riil, terutama di dua parpol itu, belum selesai. Misalnya musyawarah di dalam, menentukan kongres, masalah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Sebetulnya, kalau dilihat dari segi kepentingan nasional, kedua parpol dan Golkar adalah milik bangsa Indonesia. Milik saya, milik mereka, milik semuanya. Jadi, seharusnya kita tidak saling masa bodoh. Orang yang rasional mengabdi kepada bangsa dan negara berdasarkan kesadaran penuh, (hingga) harus mengerti pentingnya PPP dan PDI. Bila keduanya mendapat kesulitan, semua orang harus membantu. Tapi harus tahu batas dan tidak mencampuri urusan intern mereka. Di sinilah dulu saya sering dianggap manipulator politik, karena saya selalu membantu. Saya beranggapan, semua organisasi politik di Indonesia milik kita bersama. Berarti saya ikut memiliki. Jadi, kalau saya tidak blsa membantu, ya, saya ini bukan warga negara yang baik. Yang penting, saya tahu batasnya. I know the border. Ada anggapan Bapak sekaran berubah. Misalnya dulu menentang peembagaan Angkatan 66, tapi sekarang menyetujui. Buat saya, yang pertama kali harus dinilai dari Angkatan 66 adalah: mereka exist atau tidak Untuk itu, mereka harus memenuhi tiga syarat. Pertama, telah melakukan gerakan yang mengakibatkan perombakan menyeluruh. Ini telah mereka lakukan. Kedua, konsepsi. Ternyata, mereka mempunyai konsepsi Tritura. Ketiga, nilai sejarah. Dalam hal ini, perjuangan Angkatan 66 juga punya: dari Orde Lama ke Orde Baru. Berarti, keberadaan Angkatan 66 sudah memenuhi persyaratan. Masalahnya: mau atau tidak diadakan pelembagaan Angkatan 66? Kita ingin melanjutkan penertiban atau strukturisasi Angkatan 66 dalam bentuk lembaga atau tidak? Saya sendiri tidak berkeberatan dengan pelembagaan Ankatan 66. Saya menyodorkan alternatif terbaik: pelembagaan lewat KNPI karena ia merupakan forum pemuda nasional. Bila ada yang menginginkan tidak melalui KNPI, itu terserah. Demokrasi. Cuma apakah cara itu nantinya bisa diterima masyarakat atau pemerintah. Benarkah pada 1981 Bapak pernah menentang pelembagaan ini? Bukan itu yang saya maksudkan. Waktu itu ada yang tidak menginginkan KNPI, dengan alasan lembaga Angkatan 66 lebih baik sempurna, dan relevan. Jadi, yang akan dihilangkan KNPI. Hal itu buat saya tidak benar. Kalau memang begitu, mati pun saya lakon (jalani). Bapak kelihatan amat fit. Bagaimana kesehatan Bapak sekarang? Kesehatan saya dipengaruhi dua unsur. Pertama, umur. Itu Tuhan yang menentukan. Kedua, saya memang sakit jantung dan sudah dioperasi. Secara medis, saya tidak apa-apa. Tapi sebagai manusia yang telah mempunyai umur tua, saya ya harus eman-eman (berhati-hati).... Apakah Bapak merencanakan menulis memoar? Saya tidak senang menulis memoar karena di Indonesia ini yang laku emosi. Bila saya menulis memoar, nanti ada yang tersinggung dan tidak senang. Lebih baik menulis hal yang lain, yang bersifat historis konsepsional-strategis. Dengan begitu, ide dan gagasan saya tidak akan mati. Saya bisa mati, tapi ide itu jalan terus.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/01/28/NAS/mbm.19840128.NAS42098.id.html

Meninggal Dunia
26 Mei 1984

HIDUP itu hanya sekali dan sifatnya hanya mampir minum." Kata-kata itu diucapkan oleh Letnan Jenderal (pur.) Ali Moertopo dalam suatu wawancara khusus TEMPO, Januari silam. "Masa hidup itu harus digunakan sebaik-baiknya, kita harus bekerja semaksimal mungkin, untuk bangsa dan negara." Ali Moertopo, tokoh yang tersohor itu, meninggal di ruang kerjanya, di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa Pahing, 15 Mei sekitar pukul 15.45 WIB. Lima belas menit sebelumnya, demikian tutur Sopini, salah seorang ajudannya, Ali Moertopo masih membaca sambil memegang pena. Tatkala Sopini kemudian kembali, ditemuinya Ali Moertopo telentang di sofa, dalam keadaan tidak sadar. Serangan Jantung, keempat sejak 1978, rupanya telah merenggut nyawanya. Toh, kemglnannya terkabul. Seperti kata Haris, 25, putra sulungnya, yang kembali dari Tokyo dua jam sebelum jenazah dikuburkan Rabu petang lalu, "Bapak pernah bilang ingin mati waktu bekerja. Sebab, itu seperti tentara mati waktu perang." Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 60 tahun lampau itu tak terdengar mempunyal hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung Karno. Sikapnya yang tak bisa diam itu masih tecermin setelah ia tak lagi duduk dalam kabinet, dan terpilih sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung, 1983. "DPA tidak ada gunanya kalau tidak blsa menyerap dan mengolah aspirasi rakyat secara tepat dan relevan," katanya selepas pertemuan DPA dengan Presiden. "DPA harus berfungsi dan tidak boleh hanya sebagai embel-embel saja." Merupakan tokoh yang kontroversial, Ali Moertopo - seperti ditulis dalam Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1983-1984, yang diterbitkan majalah TEMPO - dijuluki sementara pengamat sebagai man of aaion. Itu memang dibuktikannya selama ini: Ia selalu berorientasi pada pencapaian tujuan, bisa cepat menjabarkan setiap tujuan yang dlanutnya ke dalam serangkaian tindakan. Tapi, kalau dianggap perlu, ia juga bisa mengerem diri, dan patuh pada atasan. Dalam menghadapi Pemilu 1971, misalnya, ia semula berpendirian bahwa pemilu belum saatnya dilaksanakan. Tetapi ketika Presiden Soeharto memutuskan lain, Ali tidak mutung. Ia segera bangkit membenahi Sekber Golkar. Dibentuknya Badan Pengendali Pemilu (Bapilu) Golkar. Ia merekrut tenaga baru, menerbitkan koran Siara Karya, dan mengambil berbagai tindakan lainnya. Dan ia berhasil. Kemenangan Golkar mendorongnya melangkah lebih lanjut. Beberapa kelengkapan kelembagaan Orde Baru, seperti KNPI, FBSI, dan HKTI, sedikit banyak hasil sentuhannya Tapi, Ali bukan sekadar operator yang lalu. Ia juga konseptor politik yang sarat gagasan, kendati tidak selalu komprehensif dan padu. Dalam kampanye Pemilu 1971, ia mencetuskan gagasan Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, yang waktu itu sempat memikat dan diperdebatkan berbagai kalangan. Menjelang Sidang Umum MPR 1983, usulnya agar MPR memberikan gelar Bapak Pembangunan Nasional kepada Presiden Soeharto - walau semula banyak ditentang - akhirnya berhasil. Tak selesai MULO, setingkat SMP, sebelum Jepang masuk, 1941, putra ketiga di antara sembilan bersaudara, R. Kartoprawiro, seorang pedagang, pernah duduk sebentar di SMA Bagian C. Tapi kegemarannya membaca dan suka memmba pengetahuan dari orang yang ia pandang, membuat ia berani tampil dalam berbagai forum internasional. Misalnya dalam berbagai seminar yang diselenggarakan oleh CSIS - yang didirikannya, dan ia menjadi ketua kehormatan bersama Mayor Jenderal (pur.) Soedjono Humardani, kini Irjenbang, sejawatnya sejak dulu. Almarhum - yang meninggalkan seorang istri, Wastuti, dan dua putra - memulai kariernya sebagai prajurit. Tapi pada saat itu anak Pampung Krapyak Kidul, Pekalongan, itu sudah membuat ulah. Tuturnya dalam buku Apa Siapa, TEMPO: "Karena malu", setiap pulang dari markas ke rumahnya, diam-diam, pangkatnya dicopot dan diganti dengan pangkat sersan mayor "Sebab, pada masa itu, itulah pangkat yang paling hebat," ujarnya sambil tertawa. Sebagai bintara dalam laskar BIPRI Hisbullah - yang pada awal revolusi bermarkas di Jalan Dokrian (kini H.A. Salim), Pekalongan - Ali Moertopo ikut aktif menumpas aksi komunis, yang dikenal sebagai peristiwa Tiga Daerah, di antara Brebes dan Tegal. Lalu tampil sebagai komandan seksi gerilya, Komandan Kompi Batalyon 431 Banteng Raiders, kemudian Kepala Staf Resimen Tim Pertempuran II/Diponeoro. Dan pada tahun 1961, dialah yang memimpin Komando Operasi Khusus (Opsus) Irian Barat. Pada awal Orde Baru (1966), Kolonel Ali Moertopo aktif berperan dalarn upaya menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, antara lain bersama Kepala Staf Kostrad Brigadir Jenderal Kemal Idris, dan Asisten I Kopur Kostrad Mayor L.B. Moerdani sebagai perwira penghubung. Semuanya di bawah Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto, kini presiden RI. Nama Opsus kemudian melembaga dan seakan menjadi cap dari scgala kegiatan operasi inteligen, tak saja di bidang militer, tapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Nama ItU begltu disegani tapi juga dibenci, tak disenangi karena dianggap sebagai "suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendaknya". Itu sebabnya, sementara pihak berpendapat, keberhasilan Ali Moertopo terutama disebabkan faktor kekuasaan yang dipegangnya, dan kedudukannya sebagai pembantu utama Presiden di bidang politik, di samping sebagai perwira tinggi inteligen yang amat berpengaruh. Tapi, Ali Moertopo, yang sejak tahun 1961 mulai berperanan di dunia inteligen, menolak anggapan begitu. "Kalau saya ikut main, itu saya akui. Tapi itu dalam artian itikad baik, untuk mewujudkan sistem kehidupan politik yang mendukung stabilitas nasional," katanya kepada TEMPO. Ia juga dituding sebagai "manipulator politik", khususnya dalam mencampuri urusan PDI dan PPP. Tapi untuk itu ia punya alasan: "Orang yang rasional, mengabdi sepenuhnya kepada bangsa dan negara, harus mengerti pentingnya PPP dan PDI, selain Golkar. Bila PPP dan PDI mendapat kesulitan, seharusnya semua orang membantu," katanya. Ali Moertopo, tokoh yang dipuja tapi juga dibenci oleh lawan politiknya, betapapun, merupakan suatu bab penting dalam riwayat Orde Baru. Bekas pimpinan mahasiswa yang dulu tergabung dalam KAMI - yang kini menjadi menteri seperti Cosmas Batubara, orang partai seperti amroni, atau Nono Makarim yang kini konsultan hukum tentu masih ingat saat-saat yang tegang, bermalam di markas Kostrad di Kebon Sirih, Jakarta, bersama Ali Moertopo, sebelum 11 Maret yang melahirkan Supersemar itu.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/05/26/OBI/mbm.19840526.OBI42788.id.html

Setelah Serangan Keempat
26 Mei 1984


SERANGAN jantung itu datang mendadak. Diperkirakan hanya berlangsung sekitar lima menit. Tapi, justru pada menit kritis itu segalanya ditentukan. Dan itulah yang dihadapi Almarhum Ali Moertopo, 60, Selasa pekan lalu, di ruang kerjanya di lantai dua Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. "Bapak sudah meninggal dunia ketika kami datang," kata Dokter A. Hanafiah, salah seorang dokter pribadinya. Apa penyebabnya? Dokter yang sudah mendampingi Almarhum sejak pertama kali diserang sakit jantung koroner - semacam penyakit jantung yang diakibatkan penyempitan lemak di pembuluh jantung - itu belum mau memperinci. Ia hanya menuliskan di visum resmi, penyebab kematian wakil ketua DPA itu adalah: Sdden Cardiac Death. Artinya: serangan mendadak pada jantung yang menyebabkan kematian. Biasanya, terjadi pada penderita jantung koroner yang tiba-tiba tersumbat pembuluh Jantungnya. Akibatnya, darah tak mengalir ke otot jantung (infark). Keadaan inilah, yang antara lain menyebabkan kekacauan irama di bilik jantung, yang bisa menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdetak. Serangan penyakit pada bekas menteri penerangan itu sudah terjadi empat kali. Tapi tiga serangan sebelumnya bisa diatasi tim dokter yang sempat menolong. Yang pertama terjadi Juli 1978 di Kuala Lumpur, ketika Ali Moertopo menyaksikan pemiu di negeri itu. Inilah pertama kali Almarhum diketahui mengidap penyakit jantung koroner. Akibatnya, ia diharuskan menjalani pengobatan intensif sekitar tiga bulan. Rupanya, penyakit ini serius. Lebih dari setahun setelah pulang dari Kuala Lumpur, bersama tim dokter pribadi dan keluarganya, Ali Moertopo terbang ke Houston, Texas, AS, untuk menjalani operasi bedah pembuluh darah memintas (coronary bypass surgery). Tak kurang ahli bedah jantung terkenal Dr. Benton A. Cooley ikut mengawasi pembedahan itu. Pada penyakit seperti ini pembedahan dilakukan di pembuluh jantung. Sebab pembuluh tadi dianggap sudah rusak akibat lemak yang mengendap di dalamnya. Karena itu, agar tetap bisa melancarkan peredaran darah ke otot Jantung, pembuluh yang rusak itu diganti dengan pembuluh lain yang diambil, biasanya, dari betis kaki. Dengan pembuluh baru itulah peredaran darah di-bypass agar mengalir ke otot jantung. Menurut Harris A.M. - putra sulung Almarhum, yang ikut mendampingi ayahnya dalam operasi bypass - sedikitnya operasi itu dilakukan di lima tempat. Setelah operasi itu, yang dalam 15 t ahun terakhir ini sering dilakukan para ahli bedah jantung Amerika, Ali Moertopo harus mendekam sekitar empat bulan di rumah sakit. Dan dalam perjalanan pulang dari pengobatan setelah operasi inilah. dia sempat menerima serangan jantung kedua. Tapi selamat setelah menjalani pengobatan di Los Angeles. Setelah itu, beberapa bulan kemudian dia mendapat serangan jantung yang ketiga kalinya di Jakarta. Semua serangan jantung tadi terjadi antara lain karena Almarhum - setelah operasi sulit menghilangkan kebiasaannya bekerja keras. Sesekali, kendati sudah dilarang istri atau dokter pribadinya, Almarhum lupa pada penyakitnya. Tapi, pada sisi lain, semangat bekerja yang kuat itulah yang menyebabkan Almarhum bisa bertahan hidup, seperti diakui Dokter Hanafiah kepada TEMPO. "Jika pasien lain menghadapi penyakit seperti itu, mungkin tak akan bisa setahan Pak Ali," katanya. Dan, memang, adalah Mendiang sendiri yang memutuskan untuk menjalani operasi bedah memintas pembuluh darah itu guna melawan penyakit jantung koronernya. Dia dan mungkin juga tim dokternya Fercaya bahwa operasi itu merupakan alternatlf pengobatan terbaik dibandingkan meminum obat.
Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/05/26/KSH/mbm.19840526.KSH42803.id.html

Ia Berani Melawan Arus
26 Mei 1984
SELASA malam pekan silam itu jenazah Ali Moertopo disemayamkan di ruang tengah rumahnya, di Jalan Matraman Raya 18, Jakarta Pusat, yang beralaskan permadani merah, tepat di bawah lampu gantung. Begitu Presiden Soeharto dan Ny. Tien selesai melayat, menjelang tengah malam, terdcngar surat Yassin dibaca beberapa orang. Beberapa di antara kitab Yassin yang kecil itu bergambarkan pohon beringin yang dibentuk dengan huruf Arab. Pelayat terus berdatangan hingga menjelang pagn Esoknya ribuan orang terus mengalir datang di rumah Almarhum, juga tatkala jenazah disemayamkan di gedung DPA, lalu terakhir di TMP Kalibata. Almarhum memang tokoh populer yang dekat dengan bermacam kelompok. Ia dianggap "bapak" oleh banyak kelompok, antara lain pemuda dan mahasiswa. Ia bahkan akrab dan membantu banyak tokoh PRRI dan Permesta yang sebelumnya disisihkan. Pernah juga ia membina beberapa bekas tokoh DI/TII. Semua itu dilakukannya tatkala ia memimpin Opsus (Operasi Khusus), yang semula dibentuk dalam perjuangan mengembalikan Irian Barat ke wilayah RI. Dalam penataan kembali kehidupan politik Orde Baru, peranan Ali Moertopo sangat menonjol. Namun, dalam peran sebagai "operator" atau "pendobrak" itulah ia dituding sebagai pemecah belah parpol. Dr. Alfian, Direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional LIPI, menganggap Ali Moertopo tokoh yang kontroversiak "Ia melahirkan beberapa ide yang menarik, seperti akselerasi pembangunan dan massa mengambang. Pada mulanya ide itu kontroversial, tapi akhirnya bisa diterima masyarakat sebagai kenyataan," ujarnya. Alfian, ahli ilmu politik itu, berpendapat, Ali Moertopo kadang kala berani melawan arus karena ia mempunyai sense of purpose (tekad) yang sangat kuat dalam pembangunan bangsa, hingga ia berani mengambil risiko dalam tingkah laku politiknya. Dalam pengamatan Alfian, Ali Moertopo mempunyai kelebihan: mampu keluar dari berbagai krisis politik. "Ia bahkan menjadikan krisis itu sebagai faktor untuk mengembangkan dirinya," tutur Alfian. Ia menyebut Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) sebagai contoh. Akibat peristiwa itu, banyak tokoh yang berkurang pengaruhnya, atau tersingkir dari percaturan politik nasional. Tapi Ali Moertopo malah makin menonjol. "Daya tahan politiknya ini menunjukkan kualitas Ali Moertopo yang luar biasa," kata Alfian. Ali Moertopo juga dianggap Alfian tokoh yang multidimensi. "Di mana pun ia ditempatkan - sebagai aspri presiden, waka Bakin, atau menpen - ia selalu dapat mengembangkan dirinya dan mewarnai bidang itu," katanya. Walau Ali Moertopo telah meninggal Alfian percaya, Almarhum meninggalkan jejak. "Sebab, secara tak langsung, pengaruh Ali Moertopo masih tetap ada melalui ide dan kader yang ditinggalkannya," katanya. Ridwan Saidi, anggota FPP, menilai Ali Moertopo sebagai salah satu superstar bagi kebesaran Golkar. "Bila benar ada sejumlah politisi muda yang dilindunginya, tentunya, setelah kepergiannya, mereka akan mencari katrolan baru," kata Ridwan. Tapi, Sofyan Wanandi, Anggota Dewan Direktur CSIS, tak sependapat. "Tak benar kalau ada kesan teman-temannya meninggalkan Pak Ali," katanya. Kesan dari luar mungkin begitu, tapi itu karena "dia menyuruh setiap orang berkembang". Ia tetap berdiri di belakang. "Jadi semacam godfather," ujarnya. Sekjen DPP Golkar, Sarwono Kusumaatmadja, mengakui juga bahwa semasa hidupnya Ali Moertopo berperan sebagai semacam godfather yang mengorbitkan politisi muda. Almarhum dinilainya sebagai tokoh militer yang punya karakter, kaya dengan gagasan, dan sekaligus mau memperjuangkan gagasannya. "Ali Moertopo adalah pencetus sistem politik Orde Baru," katanya. Sabam Sirait, Sekjen PDI yang juga menjadi anggota DPA, tak sependapat bila Ali Moertopo disebut sebagai perancang Orde Baru. "Dia lahir bersamaan dengan Orde Baru, tapi itu bukan berarti dia arsiteknya. Dengan caranya sendiri, ia memang banyak mengarahkan," ujarnya. Dan itulah yang dianggapnya sumbangan terbesar Ali Moertopo dalam pembangunan politik Indonesia.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/05/26/OBI/mbm.19840526.OBI42789.id.html


Ali Moertopo Menjelaskan
20 Agustus 1977

LETJEN Ali Moertopo, Waka Bakin yang kini 53 tahun, sebenarnya masih harus istirahat di rumah sedikitnya satu minggu lagi. Namun baru tiga malam tiba di tanah air setelah menjalani operasi untuk kedua matanya di AS, ia sudah terpaksa keluar rumah. Antara lain mengunjungi keluarga Kolonel Hamsil di jalan Siliwangi menyatakan belasungkawa atas meninggalnya Rudy Chaidir, 21 tahun. Kepada TEMPO, Ali Moertopo mengatakan, ketika selesai operasi yang pertama, mau telepon ke tanah air. "Tapi kok diblokir. Saya coba lagi. diblokir terus. Saya pikir, wah. pasti ada apa-apa. Kontan saya bilang sama isteri saya, saya pulang," katanya. Almarhum, anak keempat Hamsil, adalah korban penembakan dalam perkelahian di Jalan Batu 29 Juli lalu. Dan Harris, 18 tahun, anak Ali Moertopo adalah tersangka dalam peristiwa penembakan itu (TEMPO, 13 Agustus Kriminalitas), lalu pekan kemarin, Ali Moertopo hadir di Press Club, Jakarta. Di depan wartawan yang memenuhi acara makan siang bersama perwira tinggi itu, ia berbicara tentang 'musibah' yang mengenai anaknya di SMA IV Gambir itu. Meskipun hanya sebentar, Ali Moertapo tak bersedia menguraikan apa sebenarnya yang terjadi antara Harris, anaknya, dengan almarhum Rudy dkk. Ia tidak membenarkan, juga tidak membantah, adakah Rudy tewas oleh peluru pistol anaknya. Ali khawatir, pemeriksaan oleh yang berwajib akan terpengaruh oleh keterangannya. Sampai hari ini pemeriksaan belum selesai. Pemeriksaan tak dapat dilakukan terus, sebab anak saya luka syarafnya? "katanya. rupanya benar: Harris juga mengalami luka-luka akibat peristiwa perkelahian itu. Sang ayah bahkan masih begitu sedih. Ia enggan membicarakan luka-luka yang diderita anaknya. "Nanti saya trenyuh lagi," katanya kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO. "Kalau saya ingat itu, ah, sudahlah . . . " tambahnya. Bahkan sang ayah baru sekali saja menengok anaknya yang masih dirawat di rumah sakit. "Saya berpendirian. supaya hal ini dapat diselesaikan secara wajar - berdasarkan hukum," kata Ali. Ia juga berjanji bahwa apa pun keputusan pengadilan nanti terhadap anaknya, "saya akan mentaati sepenuhnya." Mengundurkan Diri? Ada wartawan bertanya: adakah Ali akan mengundurkan diri dari jabatannya jika nanti anaknya terbukti bersalah? Pertanyaan itu barangkali ada hubungannya dengan kasus penembakan di jalan Matraman tempo hari, yang menyangkut anak seorang perwira tinggi AL. Laksda Atoeng Soedibya ketika itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Asisten I KSAL. Tapi barangkali soalnya belum selesai, hingga Ali Moertopo belum perlu menyatakan keputusannya. "Apa hubungannya eristiwa itu dengan jabatan saya?" jawabnya balik bertanya. Munkin perlu diperjelas dulu: benarkah arris bersalah. Menurut bapak dan teman-temannya, ia bukan anak yang suka berkelahi. "Saya melihat pendidikan terhadap anak saya berhasil. Anak saya taat pada pendidikan yang saya berikan," kata Ali. Bahkan walaupun Harris sudah besar, "saya masih suka mengajaknya tidur bersama untuk bercakap-cakap dan memberikan nasihat-nasihat." Setelah bicara tentang 'musibah' keluarganya itu, Ali juga bicara tentang desas-desus keterlibatannya dalam kasus "bursa komoditi". "Tidak benar saya ikut atau berusaha dalam bidang perdagangan komoditi," katanya. Soal perdagangan komoditi itu sampai saat hebohnya, ia bahkan tidak mengerti soalnya. "Kok katanya saya ikut." Oleh seorang pemhantunya, Monang Pasaribu, ia pernah diperkenalkan dengan Sudarto, seorang dari perdagangan komoditi. Tapi hingga kini ia belum diberi penjelasan apa-apa oleh Sudarto. Yang diketahui oleh Ali Moertopo, Sudarto sudah minta izin kepada pemerintah untuk mendirikan usaha perdagangan komoditi. Monang memang dikenal baik oleh Ali dan telah banyak jasanya membantu tugas. Misalnya dalam tugas merebut Irian Barat. Sesudah itu Monang rmendirikan PT AKA (Anem Kosong Anem) di jalan Bangka. Ali Moertopo malah menitipkan kantor harian Suara Karya di gedung AKA yang megah itu. Juga, "saya nunut berkantor di sana." Kepada Ali, Monang berkata: "Usaha perdagangan komoditi itu baik. Segala izin dan lain-lainnya semua sudah beres." Sampai suatu saat Monang menemui Ali, "dengan tersedu-sedu." Itu setelah usaha bursa itu dilarang pemerintah. Maka Ali cuma bisa kasih nasihat: "Harus bertanggungjawab. Berani mulai juga harus berani berhenti. Kalau perlu juga harus berani menyelesaikannya di muka pengadilan."
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1977/08/20/NAS/mbm.19770820.NAS75289.id.html

Menolak di Calonkan Wapres
12 Februari 1983


SUASANA rapat kerja Komisi I DPR Senin siang lalu mendadak lebih "hidup" tatkala salah seorang anggota F-PDI, Tjokorda Bagus Sayoga melontarkan permintaan kepada Menteri Penerangan Ali Moertopo. "Saya mengusulkan agar Pak Ali bersedia menjadi calon wakil presiden, karena saya merasa Pak. Ali punya kemampuan untuk itu". Tersenyum sebentar, Menpen yang mungkin tak menduga munculnya pernyataan seperti itu, menjawab kalem "Terus terang, saya merasa tak mampu untuk menerima jabatan itu". Selain alasan ketidakmampuan, Ali Moertopo juga menyebutkan "Ada faktor lain, usia saya". Ali Moertopo, 58 tahun, seusai rapat kerja itu lalu menjawab pertanyaan pers. Ia menegaskan lagi bahwa ia merasa kemampuannya "tak sampai" untuk menduduki jabatan wapres, hingga kalau ia mendududuki jabatan itu malah bisa merugikan negara. "Jadi mungkin bisa diambil orang lain," katanya. "Saya merasa mentally tidak prepared (tidak siap mental) untuk itu. Orang lain yang pintar masih banyak". Ia kemudian berkata "Tak ada ambisi saya untuk ke sana. Perasaan saya tak ada untuk itu, jadi impian pun tak ada". Tapi kepada pers Menpen mengungkapkan akan merasa senang kalau bisa meneruskan jabatannya yang sekarang. "Itu kalau saya sendiri dibenarkan untuk tetap duduk dalam kabinet yang akan datang," katanya. Alasannya, ia merasa belum selesai benar menyandang tugasnya sebagai menteri penerangan. "Saya tentunya malu untuk meninggalkan pekerjaan yang belum selesai," ujarnya. "Tapi kalau diganti orang lain yang lebih baik dan lebih mampu daripada saya tentu saya akan senang sekali". Namun ia juga mengatakan telah bekerja keras sejak berusia 18 tahun, ketika menjadi prajurit sampai menjadi letjen sekarang hingga ia merasa "letih". Munculnya permintaan spontan pada Ali Moertopo agar bersedia dicalonkan menjadi wapres bisa dimengerti. Siapa yang bakal menjadi wakil presiden untuk periode 1983-1988 sampai sekarang memang menjadi teka-teki besar menjelang Sidang Umum MPR bulan depan. "Keadaan sekarang ini berbeda dengan tahun 1973 dan 1978. Waktu itu pada bulan Januari saja sudah diketahui siapa yang akan dicalonkan," kata seorang anggota DPR dari F-KP. Dalam dua kali sidang MPR waktu itu, nama Sultan Hamengkubuwono IX memang sudah jauh hari sebelumnya diisyaratkan sebagai satu-satunya calon pendamping Pak Harto sebagai wapres. Kini tampaknya isyarat itu belum juga turun, hingga sampai 3 pekan menjelang SU MPR berbagai macam isu dan rekaan pun masih bermunculan. Isyarat itu tentu saja dari Presiden sendiri, karena salah satu persyaratan utama seorang wapres adalah harus sanggup dan dapat bekerja sama dengan presiden. Hingga untuk bisa memenuhi persyaratan formal tersebut, praktis calon wapres ditentukan sendiri oleh presiden terpilih. Mengapa isyarat itu hingga kini belum muncul juga, ini yang membingungkan banyak orang. Ada yang menganggap karena Presiden Soeharto, yang pasti akan terpilih kembali untuk masa jabatan 1983-1988, tidak mau melanggar tata tertib. Secara resmi beliau belum terpilih lagi sebagai presiden. Lagi pula sesuai dengan tata tertib, fraksi-fraksi dalam MPR-lah yang berwenang mengajukan calon presiden dan wapres. Namun ada juga pendapat lain. "Pemilihan wapres kali ini memang lebih sulit dibanding yang lalu karena menyangkut masalah suksesi. Ada kemungkinan 5 tahun mendatang ini akan merupakan masa terakhir Pak Harto menjadi presiden. Wapres kali ini dengan demikian sepertinya akan menjadi calon presiden berikutnya," ujar seorang anggota MPR dari F-KP (lihat box). Menurut anggota DPR yang berkeberatan disebut namanya, pertimbangan inilah yang menyebabkan lebih sulitnya menemukan calon wapres yang tepat. "Calon wapres ini harus seorang yang bisa meneruskan cita-cita Pak Harto, juga setia serta mampu mengamankan berbagai hal setelah Pak Harto tak lagi menjadi presiden," ujarnya. Sarwono Kusumaatmadja meninjaunya dari sudut lain. Sekretaris F-KP ini mengakui masalah wapres kali ini memang jauh lebih sulit dibanding dulu. Dulu, di awal orde baru, ada triumvirat Soeharto-Hamengkubuwono IX-Adam Malik. Hamengkubuwono IX dan Adam Malik kemudian menjadi wapres. Kini, menurut Sarwono, orba telah sampai pada tahap legimitasi: institusi yang dibentuk. selama ini -- baik politik, ekonomi dan sebagainya -- telah tertanam dalam masyarakat. "Tinggal masalahnya sekarang, bagaimana berbagai institusi itu bisa dipelihara," kata Sarwono. "Jadi diperlukan seorang figur pendamping presiden ke arah itu pendamping untuk menyongsong masa depan bangsa ini". Dengan begitu wapres itu perlu mengetahui latar belakang tumbuhnya orba, memahami landasan-landasan pemikirannya dan juga mampu menerjemahkan konsepsi-konsepsi dasar ini untuk menyongsong ke jalan depan. "Belum tentu orang ng ikut mendirikan orde baru juga bisa menerjemahkan konsepsi-konsepsi dasar itu untuk masa depan," kata Sarwono. Siapa? "Calon wapres ini sudah ada di kantung kiri dan kantung kanan," kata Wakil Ketua MPR dan Ketua DPP PDI Hardjantho Sumodisastro. Namun ia tak bersedia menyebutkannya. "Mesti dikonsultasikan dulu dengan Presiden," tambahnya. Namun seorang tokoh Golkar meragukan hal itu. "Omong besar kalau ada yang mengatakan bahwa calon wapres sudah ada di kantung, sebelum hal itu disetujui Presiden Soeharto," katanya. Lantas siapa? "Masih sulit diraba. Itu terserah pada Pak Harto sendiri," tambahnya. F-KP sendiri, menurut dia, secara resmi belum pernah membicarakan tentang calon wapres ini. Agaknya hal inilah yang kini dilakukan semua fraksi di MPR: menunggu nama calon wapres yang ditunjuk presiden. "Hingga kini belum ada isyarat siapa orang yang bisa bekerja sama dengan presiden, yang dapat dipastikan adalah Pak Harto. Karena itu masalah calon wapres ini belum dibicarakan dalam fraksi kami," kata seorang pimpinan Fraksi Utusan Daerah. Dari F-PP keluar penjelasan: "Semua fraksi pasti akan menerima usul nama calon yang disampaikan Pak Harto," kata Wakil Ketua F-PP Syarifuddin Harahap. Semua fraksi, menurut dia, tidak akan mengajukan nama calon wapres kecuali setelah berkonsultasi dengan presiden. "Jadi fraksi-fraksi akan menanyakan kemauan Pak Harto," katanya. Syahdan sembari menunggu isyarat Pak Harto ini, masyarakat pun mereka-reka teka-teki calon wapres ini. Belasan nama muncul dalam daftar "nominasi" untuk kemudian dianalisa peluangnya. Sebagian nama itu berasal dari usul berbagai kelompok masyarakat, dan pribadi yang disampaikan kepada pimpinan MPR, yang oleh Ketua DPRlMPR Amirmachmud dianggap sebagai usul "jalanan". Pelajar Timor Timur misalnya sekaligus mencalonkan Menhankam Jenderal M. Jusuf, Pemimpin Redaksi Merdeka B.M. Diah, dan bekas Menteri Keuangan Frans Seda. Adam Malik antara lain dicalonkan lagi oleh Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia tahun lalu, berdasar usul pembina utama organisasi tersebut, Probosutedjo. Pencalonan Widjojo Nitisastro dan Ali Moertopo berasal dari organisasi yang didirikan beberapa bekas aktivis Angkatan 1966: Forum Studi dan Komunikasi (Fosko). Ny. Tien Soeharto dicalonkan oleh seorang Siti Aisyah, anggota PITI (Pembina Iman Tauhid Islam). Pemudi ini sekaligus juga mengusulkan agar Ny. Tien diangkat sebagai Ibu Pembangunan (TEMPO, 5 Februari 1983). Ikatan Keluarga Pejuang 1945 Sulawesi Selatan mencalonkan Mayjen Polisi (Pur.) Moehammad Yasin, bekas Dubes RI di Tanzania. Alasannya: tokoh yang lahir di Bau-Bau (Buton) pada 1920 itu bisa diandalkan loyalitas, kapasitas, pengaruh serta jasa-jasanya. Banyak lagi tokoh yang disebut mempunyai peluang. Misalnya Ketua DPR/MPR Amirmachmud sendiri, Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Alamsyah. Amirmachmud sendiri agaknya tak menolak, asalkan ". . .fraksi sudah menentukan, sudah clear, dan Pak Harto menyatakan ya . . .," katanya 3 pekan lalu. Idham Chalid, kalau sampai dicalonkan, tampaknya didukung sebagian warga NU. "Kami akan melepas beliau dari NU kalau memang ada permintaan," kata Rais Awal PB NU KH Ali Yafie. "Seluruh warga NU akan mendukung Pak Idham," tambahnya. Namun menurut Kiai Ali Yafie sampai sekarang belum ada permintaan, resmi atau tidak, pada Idham untuk dicalonkan menjadi wapres. Idham Chalid sendiri pada TEMPO pekan lalu berkata, "Saya tak punya ambisi untuk itu." Bagaimana kalau umat memintanya? "Saya tak tahu. Itu belum saya pikirkan," jawabnya singkat. Walaupun konon telah ada 37 organisasi yang memintanya agar bersedia dicalonkan sebagai wapres, Menteri Agama Alamsyah konon juga menolak. Alasannya mirip Menpen Ali Moertopo: merasa tidak mampu dan tidak punya ambisi untuk menjadi wapres. Alasan yang sama dikemukakan pula oleh Menko Ekuin Widjojo Nitisastro tahun lalu, begitu namanya dicalonkan oleh Fosko. Penolakan dengan alasan ketidakmampuan itu membangkitkan pertanyaan: benarkah persyaratan menjadi wapres begitu berat hingga tokoh sekaliber Ali Moertopo dan Widjojo Nitisastro misalnya, merasa tidak mampu? Ketentuan dan persyaratan calon wapres diatur dalam Ketetapan (Tap) MPR nomor 11/1973. Di situ antara lain disebut persyaratan: telah berusia 40 tahun, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada cita-cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, berwibawa, jujur, cakap, adil dan mendapat dukungan rakyat yang tercermin dalam majelis. Selain itu tidak pernah terlibat langsung atau tidak dalam pengkhianatan terhadap negara, tidak sedang menjalani putusan pidana dan tidak terganggu ingatannya. Namun diatas semuanya itu, syarat: seorang wapres harus sanggup dan bekerja sama dengan presiden tampaknya tetap mutlak. Hingga memang tergantung kepada presiden terpilihlah siapa calon yang dipandangnya bisa memenuhi syarat tersebut. Di luar bermacam syarat formal di atas, di tengah masyarakat sendiri muncul berbagai syarat "tambahan". Misalnya bila presiden berasal dari Jawa dan ABRI, sebaiknya wapres dari luar Jawa dan sipil. Masih adanya sikap seperti itu, setelah 37 tahun merdeka, dikecam oleh Wapres Adam Malik. "Saya sendiri tidak pernah merasa sebagai orang Sumatera. Dalam pengalaman dan hukum kita, mana ada kategori seperti itu? Kita semua kan bangsa Indonesia. Baca dong Undang-undang Dasar kita, " katanya. UUD 1945 memang tidak menyebut hal itu. Dibanding presiden, syarat seorang wapres menurut UUD malah sedikit lebih ringan: ada peluang seorang yang bukan orang Indonesia asli untuk menjabat wapres. Penolakan dan mundurnya banyak tokoh yang punya peluang itu menyebabkan makin kuatnya spekulasi bahwa Adam Malik bakal tampil kembali sebagai wapres untuk satu masa jabatan lagi. "Bila Pak Harto menunjuk seorang wapres yang baru, bisa jadi akan timbul masalah dan kepusingan yang baru. Dan ini jelas tidak dikehendaki beliau. Memilih kembali Adam Malik merupakan jalan yang paling 'aman', karena sifat dan kemampuannya sudah dikenal baik oleh Pak Harto," kata seorang tokoh muda NU. Namun seorang tokoh F-KP membantah. Kerja sama Pak Harto dan Pak Adam dinilainya kurang terjalin baik, hingga peluang terpilihnya kembali Adam Malik "tipis". Buktinya? "Berbeda dengan waktu lalu, sampai kini belum ada 'tanda-tanda' Adam Malik akan terpilih kembali," katanya. Disebutnya juga, bahkan dalam rantap (rancangan ketetapan) Pertanggungjawaban Presiden yang telah disusun oleh Badan Pekerja MPR, tak ada disebut-sebut ikhwal kerja sama antara Soeharto dan Adam Malik. Namun, seorang pengamat politik menduga pilihan akan jatuh ke pundak Widjojo Nitisastro, sekalipun ia tegas menyatakan tak mampu. "Dialah salah seorang pembantu utama Presiden yang dipercaya," kata pengamat itu. "Bukankah Widjojo yang paling mengetahui tentang landasan ekonomi Orde Baru? Dan sampai sekarang konsekuen mempertahankan setiap Pelita?" Mungkin saja. Tapi dalam situasi seperti sekarang ini, agaknya sikap terbaik adalah bersabar dan menunggu. Toh SU MPR tinggal beberapa minggu lagi. Presiden Soeharto, Mandataris MPR, akan segera mengungkapkan nama calon pendampingnya dari kantung kanannya, bila sudah tiba waktunya.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1983/02/12/NAS/mbm.19830212.NAS43662.id.html

30 Tahun CSIS (Makin Tua makin mandiri)
10 September 2001

KIKUE Hamayotsu seperti sedang tenggelam dalam bundel-bundel majalah berita Indonesia. Wajahnya tampak sangat serius. Gadis asal Tokyo itu adalah salah satu dari puluhan pengunjung perpustakaan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di kawasan Tanahabang, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Perempuan dengan rambut dicat kemerahan itu adalah kandidat doktor dari Australian National University (ANU), Canberra. Dia datang khusus dari Australia untuk menggali bahan tentang perbandingan Islam dan politik di Indonesia dan Malaysia di perpustakaan CSIS. "Perpustakaan ini sangat lengkap. Saya sangat terkesan," kata Hamayotsu, yang mengaku pernah datang ke CSIS pada 1999. Memang, sebagai lembaga kajian kebijakan domestik dan internasional, CSIS merupakan nama yang berwibawa di kalangan akademisi dan peneliti. Pada saat merayakan usia 30 tahun?lembaga ini didirikan 1 September 1971?CSIS sudah memiliki jaringan dengan universitas di berbagai negara. Lembaga ini selalu didatangi oleh 35-40 mahasiswa dari tingkat sarjana hingga doktoral (visiting scholar) dari berbagai negara seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, Rusia, dan negara Eropa lainnya setiap tahunnya. Para peneliti tamu itu tidak hanya menggali informasi di perpustakaan?yang memiliki 25 ribu judul buku dan 250 terbitan berkala dalam dan luar negeri?tapi juga bisa mendapat ruang kerja di gedung CSIS. Bahkan, pihak CSIS menyediakan dua buah kamar?masing-masing dengan dua tempat tidur single?yang terletak di lantai 4 dan 5 untuk tempat tinggal sementara peneliti tamu yang tidak punya cukup uang untuk indekos. Peneliti dengan topik yang relevan dengan kajian CSIS akan dibantu. Seperti kata Rizal Mallarangeng, doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, AS, CSIS adalah tempat yang nyaman untuk berpikir. "Di mana ada lembaga (di Indonesia) yang memiliki koleksi buku seperti CSIS? Enggak ada," kata Rizal, yang bergabung dengan CSIS sejak Juli lalu. Nama besar CSIS sebagai lembaga pengkajian bertaraf internasional memang tidak diragukan. Tapi lembaga yang didirikan oleh Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani ini juga punya stempel dekat dengan pemerintah Orde Baru. Itu terutama karena buku Ali Moertopo berjudul Dasar-Dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, yang dibuat di CSIS, ditetapkan MPR sebagai strategi pembangunan nasional jangka panjang pada 1972. Akibatnya, CSIS kerap disebut sebagai pusat think tank-nya Soeharto, presiden saat itu. Cap lain yang melekat adalah pusat intelektual Katolik yang memiliki tujuan tersembunyi, serta terlalu dekat dengan Golkar dan tentara. Para sesepuh CSIS tidak menyangkal pernah mendengar semua anggapan itu. Menurut salah satu pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi, persepsi itu berkembang karena orang-orang CSIS memang dekat dengan penguasa dan pembuat keputusan. "Tapi semua itu bukan sesuatu yang by design," kata Harry. Menurut dia, hanya kebetulan Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani adalah penasihat Soeharto, sementara Benny Moerdani militer dan Katolik, sedangkan Harry dan Jusuf Wanandi adalah orang Golkar. Lagi pula, menurut Harry, dengan kondisi politik seperti saat Orde Baru, lembaga penelitian mana pun tidak mungkin hadir bila tidak mendukung pemerintah. Tapi, menurut Direktur Eksekutif CSIS Hadi Soesastro, CSIS sudah menjauh dari kekuasaan ketika Orde Baru masih berkuasa. "Belakangan, kita dimusuhi Soeharto, dan orang melihat kita bukan lagi bagian rezim," katanya. Hal ini terjadi setelah Ali Moertopo tersingkir dari kekuasaan. Bahkan, tak kurang dari Soeharto sendiri, dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, membantah isu CSIS sebagai dapur pemerintah. "Itu tidak benar," tulisnya. Indria Samego, direktur lembaga kajian Center for Information and Development Studies (Cides), yang didirikan sebagai tandingan CSIS, juga tidak sependapat dengan anggapan bahwa CSIS adalah institusi kepentingan umat Katolik. "Kebetulan saja pendirinya kebanyakan beragama Katolik," katanya. Tersisih dari pusat kekuasaan tak membuat CSIS runtuh. Sejak 1985, lembaga nirlaba ini lebih banyak berkiprah memberikan masukan untuk perdebatan publik. Sedangkan masukan untuk pemerintah relatif berkurang. "Pemerintah waktu itu sudah merasa established, merasa pintar, jadi tidak membutuhkan masukan dari masyarakat," kata Hadi. Maka, dilihat dari perkembangan masyarakat madani di Indonesia, zaman keemasan CSIS bukan di masa rezim Orde Baru, tapi justru saat ini. "Sekarang kita memiliki ruang gerak yang lebih besar dibanding dulu," katanya. CSIS memang telah berkembang dalam atmosfer politik yang lebih leluasa. Saat ini, gedung berlantai enam itu menampung 120 anggota staf?45 di antaranya adalah analis dari bagian ekonomi, politik dan perubahan sosial, dan hubungan internasional. Pun CSIS sudah dipenuhi dengan peneliti-peneliti muda seperti Rizal Mallarangeng. Menurut Hadi, sebelum ada reformasi di negara ini, CSIS sudah me-mulai reformasi, yaitu dengan menunjukkan bahwa CSIS bukan think tank-nya Ali Moertopo. Tapi ada yang tidak berubah: CSIS ada karena jasa Ali dan Soedjono. Kedudukan mereka istimewa, hingga masih ada ruangan yang oleh kalangan dalam CSIS disebut "ruangan Pak Ali" dan "ruangan Pak Soedjono". Kedua ruangan itu adalah ruangan terbaik di antara ruangan-ruangan peneliti senior yang terletak di lantai tiga. Menurut Hadi Soesastro, CSIS tak mungkin melupakan jasa kedua pendiri yang banyak membantu mengumpulkan dana abadi CSIS itu. "Walau, kalau dia masih hidup, saya yakin Pak Ali akan marah kalau ada yang menyebut CSIS adalah buatannya," kata Hadi.
Bina Bektiati, I G.G. Maha Adi
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/09/10/NAS/mbm.20010910.NAS83379.id.html

Dari Eropa Ke Tanah Abang III
01 Februari 2010

PADA akhir Oktober 1964, impian saya sejak remaja untuk menuntut ilmu di Sorbonne, Paris, menjadi kenyataan. Saya pergi ke kota di Eropa Barat itu ditemani istri saya, Sri Soelastri, dan putri tunggal saya, Sri Sulaksmi Damayanti, yang masih berumur satu tahun dua bulan. Saya mendapat kesempatan belajar ekonomi di Universite Pluridisiplinaire de Paris I, Pantheon-Sorbonne, dengan beasiswa Ford Foundation dan persetujuan pemerintah.

Di Sorbonne, saya mengambil dua program doktoral: satu untuk ilmu hubungan internasional dan keuangan internasional, satu lagi doktor untuk ilmu ekonomi. Kepergian saya ke Paris agak terlambat beberapa bulan karena dihalangi oleh pimpinan fakultas ekonomi tempat saya menimba ilmu sebelumnya. Dia lebih setuju saya meraih gelar doktor di Amerika Serikat, seperti Berkeley atau kampus lain di sana, bukan di Prancis.

Di Prancis, saya aktif dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Saya menjadi Ketua PPI Prancis. Saya mengajak teman-teman untuk rutin setiap tahun menggelar seminar ilmiah secara berkala dan bergiliran di semua negara yang memiliki PPI. Eropa itu gudang ilmu, jadi jangan pulang hanya berbekal titel, tapi membawa segudang ilmu. Kegiatan itu akhirnya terwujud. Seminar tidak menghasilkan kesimpulan yang merupakan kesepakatan bersama, apalagi resolusi. Tujuan konferensi ini adalah berbagi pengetahuan.

Pada 1967, kami menggelar seminar ilmiah untuk kedua kalinya. Seminar yang diadakan di Belanda itu mengusung topik "Pertahanan dan Keamanan Indonesia". Saya sebelumnya menceritakan ide itu kepada atase militer RI di Paris, Kolonel Supartono, supaya tidak dianggap "melangkahi". Tapi rupanya reaksi sang Kolonel tidak ramah. Dengan angkuhnya dia menyatakan kok berani-beraninya saya mengajak para mahasiswa membahas masalah pertahanan. Tanpa gentar saya katakan kepadanya, tema pertahanan dan keamanan itu bukan bahan kajian yang hanya diperuntukkan bagi para dewa.

Saya merasa perlu mendiskusikan masalah ini karena peperangan di masa depan pasti bersifat menyeluruh. Setiap warga negara, entah sipil entah militer, punya peluang sama untuk mati. Jadi, setiap warga negara berhak membahas cara hidup-mati tersebut. Saya juga menjelaskan kepadanya bahwa dia dan semua atase militer yang bertugas di Eropa tidak perlu khawatir saya dan teman-teman mahasiswa PPI Eropa Barat akan mencampuri perang mereka.

Rencana seminar itu rupanya sampai ke Tanah Air. Mungkin karena beritanya dipelintir, terkesan ada perpecahan di kalangan mahasiswa di Eropa dan saya dianggap sebagai biang keladinya. Ali Moertopo, yang waktu itu menjabat asisten pribadi Presiden Soeharto, muncul di Paris. Dia sedang dalam perjalanan pulang dari misinya ke beberapa negara dan singgah di ibu kota Prancis itu. Saya diajak Sofjan Wanandi berkenalan dengannya. Kami terangkan sejelas-jelasnya apa yang sebetulnya terjadi. Kami tidak pernah punya niat memberontak. Kami tidak memegang senjata, tapi konsep pertahanan dan keamanan. Untunglah dia mengerti dan justru mendukung rencana tersebut. "Lo, itu kan apik," katanya waktu itu.

Dari diskusi dengan Ali Moertopo, muncullah ide melembagakan kelompok diskusi tersebut, semacam think tank. Kebetulan di Jakarta ada kelompok cendekiawan muda yang berpikiran sama. Mereka biasa menerima makalah konferensi ilmiah yang memang kami kirim ke Indonesia.

Pada akhir 1971, dibentuklah Center for Strategic and International Studies (CSIS) oleh para intelektual yang dulu turut mendukung konferensi ilmiah di kalangan anggota PPI se-Eropa Barat dan para cendekiawan muda di Jakarta, seperti Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, Djisman Simandjuntak, dan Hadi Susastro. Ketika saya pulang ke Tanah Air dua tahun kemudian, mereka meminta saya menjadi Ketua Dewan Direktur CSIS. Kebetulan saya memang tidak berminat kembali ke almamater saya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lagi pula jurusan saya, ekonomi pemerintahan (public economic administration), sudah ditutup. Saya tidak tahu kapan, tapi kami memang dimusuhi karena dianggap penganut ekonomi liberal.

Saya terima ajakan mereka setelah berkonsultasi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Thayeb. Ternyata Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, Wakil Ketua Bakin, turut aktif mensponsori pendirian CSIS. Berbeda dengan Ali, saya mengenal Soedjono secara pribadi setelah tiba di Tanah Air. Saya diperkenalkan oleh Sofjan Wanandi. Saya diajak ke rumahnya di daerah Jatinegara. Keduanya lantas kami angkat sebagai "ketua kehormatan" dalam jajaran kepemimpinan CSIS. Saya pikir para peneliti dan analis sipil di lembaga pengkajian ini dalam kerjanya sehari-hari memerlukan mitra kerja militer yang berpandangan tak picik.

Pilihan kami ternyata memang tak salah. Baik Ali maupun Soedjono ternyata memang orang yang gemar belajar. Terutama Ali Moertopo. Dia sangat agresif mengajukan pertanyaan dan mengajak berdebat, bahkan sampai kami tidak punya waktu untuk bekerja. Saya masih ingat, setiap kali ajudannya menelepon untuk memberitahukan bahwa dia mau datang ke kantor di Tanah Abang III, saya sengaja mengunci kamar kerja dan mematikan lampu. Saya tahu banyak teman yang juga bersembunyi di perpustakaan untuk mengelak dari "gangguan" Pak Ali.

Temperamen Soedjono berbeda dengan Ali. Tindak-tanduknya sama sekali tak menunjukkan ciri-ciri kemiliteran. Baik pertanyaan maupun jawaban diajukan dengan sangat hati-hati agar tak menyinggung perasaan. Kalaupun dia membantah, itu selalu diucapkan dengan lemah lembut. Belakangan, setelah saya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, hubungan kami makin akrab.

Sayangnya, banyak yang mencurigai lembaga ini. Saya tidak tahu kenapa. Bahkan, ketika Ali dengan caranya sendiri mulai mengkritik konsep pembangunan yang berlaku, beredar rumor bahwa CSIS berkomplot hendak menggoyahkan kepemimpinan Presiden Soeharto. Ketika Ali Moertopo meninggal, menyebar pula desas-desus bahwa CSIS bakal segera mati karena telah kehilangan "pelindungnya". Toh, lembaga ini tetap eksis, karena kami tidak bergantung pada individu tertentu. Kami tak menggunakan nama seseorang. Lembaga ini juga didirikan bukan untuk mengidolakan tokoh. Yang ditonjolkan oleh nama dan kegiatan CSIS adalah kegiatan studi.

Makanya, ketika ada yang mengusulkan agar dicari ketua kehormatan yang baru, kami menolak. Kami tidak perlu pelindung. Pelindung kami cukup otak kami. Kami mengandalkan kekuatan nalar individu. Saya ingat perkataan Ali Moertopo kurang dari lima bulan sebelum wafat: "Saya bisa mati, tetapi ide jalan terus."

Nunuy Nurhayati
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/02/01/MEM/mbm.20100201.MEM132618.id.html

2 komentar:

  1. Ali Murtopo (Anak Pekalongan), bener g tuh???
    Menurutku Ali Murtopo adalah Pengkhianat Islam dan Antek2ny SOEHARTO.... dlm menyingkirkan Peran Umat Islam di Indonesia, serta perpanjangan tangan Politik Praktis GOLKAR untuk membodohi Umat Islam

    BalasHapus
  2. Almarhum tetap berjasa terhadap kehidupan sosial politik negeri ini.

    BalasHapus